(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Sebuah peperangan yang menentukan, Al-Fathul A’zham (kemenangan besar), menumpas tuntas keberadaan paganisme (keberhalaan). Sama sekali tidak memberi tempat bagi ajaran paganis sedikitpun bahkan tidak pula melegitimasi kesyirikan dalam bentuk apapun walau sesingkat apapun waktunya.
Maka dengan kekuatan sekitar 10.000 orang, Rasulullah n dan kaum muslimin bertolak menuju Makkah di bulan Ramadhan yang penuh berkah, tahun ke-8 hijriyah.
Surat Rahasia Hathib bin Abi Balta’ah z
Telah diceritakan sebelumnya, Rasulullah n menggelar persiapan yang sangat hati-hati dan rahasia. Keluarga dan orang yang paling dekat lagi dicintai oleh beliau sekalipun tidak tahu ke mana beliau hendak menuju.
Rasulullah n sendiri juga berdoa kepada Allah l: “Ya Allah, jauhkan mata-mata dan berita dari orang Quraisy hingga kami tiba di negeri mereka.”
Doa beliau dikabulkan oleh Allah l. Beliau juga melakukan langkah lain untuk mengalihkan perhatian mata-mata musuh, dengan mengirimkan pasukan kecil ke tempat lain. Misalnya pasukan Abu Qatadah ke Bathn Idham1 yang berjumlah delapan orang. Sehingga orang akan mengira beliau hendak menyerang mereka yang berada di wilayah tersebut.
Ketika pasukan ini tiba di daerah tersebut dan tidak menemukan apa-apa, mereka terus berjalan hingga tiba di Dzu Khusyub (35 mil ke arah Syam dari kota Madinah). Sampailah berita kepada mereka bahwa Rasulullah n sudah bertolak menuju Makkah. Pasukan ini pun berangkat menyusul dan bertemu dengan Rasulullah n di As-Suqya.
Di saat Rasulullah n menyelesaikan persiapan untuk bertolak menuju Makkah, ternyata Hathib telah menulis surat untuk kafir Quraisy bermaksud membocorkan rencana Rasulullah n. Akan tetapi Allah l menampakkan kepada Rasul-Nya keadaan surat itu. Lalu beliau pun mengirim ‘Ali, Zubair, dan Miqdad bin Al-Aswad g mengejar wanita yang membawa surat Hathib untuk kemudian mengambil surat tersebut.
Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib z dengan sanad shahih yang menceritakan:
بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ n أَنَا وَالزُّبَيْرَ وَالْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ قَالَ: انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا ظَعِينَةً وَمَعَهَا كِتَابٌ فَخُذُوهُ مِنْهَا. فَانْطَلَقْنَا تَعَادَى بِنَا خَيْلُنَا حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى الرَّوْضَةِ، فَإِذَا نَحْنُ بِالظَّعِينَةِ فَقُلْنَا: أَخْرِجِي الْكِتَابَ. فَقَالَتْ: مَا مَعِي مِنْ كِتَابٍ. فَقُلْنَا: لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَنُلْقِيَنَّ الثِّيَابَ. فَأَخْرَجَتْهُ مِنْ عِقَاصِهَا فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اللهِ n فَإِذَا فِيهِ مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى أُنَاسٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمْرِ رَسُولِ اللهِ n فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، لاَ تَعْجَلْ عَلَيَّ، إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ بِمَكَّةَ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي، وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا وَلَا ارْتِدَادًا وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: لَقَدْ صَدَقَكُمْ. قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللهِ، دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ. قَالَ: إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
Rasulullah n mengutus saya dan Zubair serta Miqdad bin Al-Aswad, kata beliau: “Berangkatlah hingga tiba di Raudhatu Khah, karena di sana ada seorang wanita yang sedang dalam perjalanan membawa sepucuk surat. Ambillah surat itu darinya.”
Kami pun berangkat, dalam keadaan kuda-kuda kami berlari cepat hingga kami tiba di Raudhah. Ternyata benar kami dapati seorang wanita sedang dalam perjalanan.
“Keluarkan surat itu!” kata kami.
Wanita itu berkata: “Tidak ada surat apapun pada saya.”
“Kamu keluarkan surat itu atau kami telanjangi kamu?” gertak kami.
Akhirnya wanita itu mengeluarkannya dari gelungan rambutnya.
Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah n.
Ternyata isinya dari Hathib bin Abi Balta’ah kepada orang-orang musyrik Makkah. Dia mengabarkan kepada mereka sebagian urusan Rasulullah n.
“Wahai Hathib, apa ini?” kata Rasulullah n.
Hathib segera menyahut: “Wahai Rasulullah, janganlah terburu-buru terhadapku. Sesungguhnya aku hanyalah seseorang yang menumpang di tengah-tengah bangsa Quraisy dan bukan bagian dari mereka. Sedangkan kaum Muhajirin yang bersama engkau, mereka di Makkah mempunyai kerabat yang akan melindungi keluarga dan harta mereka. Maka karena saya tidak punya hubungan nasab dengan mereka, saya ingin berbuat jasa untuk mereka agar mereka pun menjaga kerabatku. Saya lakukan ini bukan karena kekafiran, bukan pula karena saya murtad, dan bukan pula karena ridha dengan kekafiran sesudah Islam.”
Rasulullah n berkata: “Sungguh, dia jujur kepada kalian.”
‘Umar berkata: “Wahai Rasulullah, biarkan saya tebas leher orang munafiq ini.”
Kata Rasulullah n: “Sesungguhnya dia pernah ikut perang Badr. Tahukah engkau, boleh jadi Allah telah memerhatikan ahli Badr, lalu berfirman: ‘Berbuatlah sekehendak kalian, sungguh telah Aku ampunkan untuk kalian’.”2
Walhamdulillah, surat itu tidak sampai ke tangan Quraisy. Ini merupakan nikmat dari Allah l bagi kaum muslimin dan Hathib secara khusus, karena tidak tercapai keinginannya.
Dalam dialog singkat antara Rasulullah n dan ‘Umar bin Al-Khaththab z ini, dapat kita ambil pelajaran yang sangat penting sekaligus membantah sebagian prinsip kaum Khawarij yang menyempal dari Islam. Pelajaran tersebut antara lain adalah:
1. Seorang mata-mata boleh dihukum mati, walaupun dia seorang muslim. Ini menurut pendapat Al-Imam Malik serta ulama yang menyetujuinya. Rasulullah n sendiri tidak menyalahkan ‘Umar, tetapi beliau mencegah jatuhnya hukuman itu karena Hathib termasuk salah seorang sahabat yang ikut perang Badr. Keistimewaan ini tidak akan terjadi lagi sampai hari kiamat.
2. Teguhnya ‘Umar berpegang dengan ajaran Islam, terlihat ketika beliau minta izin menebas leher Hathib z.
3. Dosa besar tidak mencabut keimanan (dari seseorang), karena apa yang dilakukan Hathib (membocorkan urusan Rasulullah n) adalah dosa besar, tetapi beliau tetap dikatakan mukmin (orang yang beriman). Bahkan dalam hadits itu disebutkan pula adanya ampunan dari Allah l untuk mereka (ahli Badar, red.).
Al-Hafizh Ibnu Hajar t ketika menjelaskan makna ampunan dari Allah l tersebut mengatakan: “Artinya, dosa-dosa kalian itu diampuni oleh Allah bagaimanapun terjadinya. Bukan berarti mereka tidak pernah berbuat dosa.”3
4. ‘Umar menyebutkan istilah munafiq kepada Hathib dengan pengertian bahasa, bukan pengertian menurut syariat, menyembunyikan kekafiran tapi menampakkan keislaman. Tapi beliau katakan demikian karena Hathib menyembunyikan sesuatu yang menyelisihi apa yang ditampakkannya, yaitu dengan mengirimkan suratnya yang bertolak belakang dengan keimanannya (berjihad di jalan Allah l).
5. ‘Umar terkesan dengan bantahan Rasulullah n sehingga dalam sekejap, dia yang tadinya begitu marah dan menuntut agar Hathib dihukum berat, berubah menangis karena takut dan terkesan dengan sabda Rasulullah n, seraya berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Rasulullah n melanjutkan rencananya bersama kaum muslimin. Allah l pun menghalangi berita ini sampai kepada kaum Quraisy yang tentu saja sangat ketakutan melihat akibat dari ulah mereka sendiri. Akhirnya, Abu Sufyan, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Warqa’ berusaha mencari-cari berita.
Abu Sufyan Masuk Islam
Pada waktu itu, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib sudah bertolak meninggalkan kota Makkah bersama keluarganya, sebagai muhajir (orang yang berhijrah). Di tengah perjalanan, di daerah Juhfah, dia bertemu dengan Rasulullah n. Mereka pun singgah di Marri Zhahran untuk beristirahat pada waktu malam.
Rasulullah n memerintahkan kepada pasukan agar masing-masing mereka menyalakan api. Akhirnya terlihat lebih dari sepuluh ribu api unggun menyala menerangi pasukan. Ini merupakan taktik Rasulullah n agar pasukan kaum muslimin terlihat (dari Makkah) dalam jumlah yang jauh lebih besar dari yang sebenarnya. Karena biasanya satu api unggun digunakan untuk sekelompok pasukan.
Malam itu, ‘Abbas dengan baghal (peranakan kuda dan keledai, red.) Rasulullah n berkeliling mencari ranting atau seseorang untuk menyampaikan kepada Quraisy agar datang meminta jaminan keamanan kepada Rasulullah n sebelum beliau memasuki kota Makkah dengan kekerasan.
‘Abbas menceritakan: Demi Allah, sungguh saya betul-betul berjalan malam itu, sampai tiba-tiba saya dengar suara Abu Sufyan berbincang-bincang dengan Budail bin Warqa’. Kata Abu Sufyan: “Aku tidak pernah melihat api dan pasukan seperti ini sebelumnya.”
Kata Budail: “Demi Allah, ini adalah Khuza’ah yang dibakar dendam untuk berperang.”
Kata Abu Sufyan: “Khuza’ah terlalu kecil dan lemah untuk bisa seperti ini apinya.”
Saya segera berseru: “Abu Hanzhalah?!”
Dia mengenal suaraku: “Abul Fadhl?!”
“Ya,” kataku.
Dia berkata: “Bapak ibuku jadi tebusanmu, ada apa ini?”
Saya katakan: “Ini Rasulullah n bersama pasukan muslimin. Celakalah Quraisy besok pagi, demi Allah.”
Dia bertanya: “Lalu apa akal (untuk selamat)?”
Saya katakan: “Demi Allah, kalau dia berhasil menangkapmu, dia pasti menebas lehermu. Ayo ikut aku naik baghal ini agar aku bawa engkau menemui beliau dan meminta perlindungan untukmu.”
Dia pun ikut membonceng di belakang, sementara dua temannya tadi segera kembali. Setiap kali melewati api kaum muslimin, mereka bertanya: “Siapa ini?” Tapi kalau mereka melihat kami, mereka berkata: “Paman Rasulullah n, di atas baghalnya.”
Akhirnya kami melewati api milik ‘Umar. Dia pun berkata: “Siapa ini?” Dia berdiri mendekatiku. Begitu melihat Abu Sufyan, dia segera berkata: “Musuh Allah? Alhamdulillah, Yang telah memberi kekuasaan terhadap kamu tanpa perjanjian dan kesepakatan.”
Dia pun bersegera menuju kemah Rasulullah n, dan saya pun memacu baghal itu agar mendahului ‘Umar. Saya berusaha mendahuluinya menemui Rasulullah n, tapi dia juga menyusul, dan segera berkata: “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan. Allah telah memberi anda kekuasaan terhadapnya tanpa perjanjian dan kesepakatan, maka biarkan saya menebas lehernya.”
Saya segera menukas: “Wahai Rasulullah, saya telah memberi jaminan keamanan buat Abu Sufyan.”
Ketika ‘Umar terus meminta izin kepada Rasulullah n, aku pun berkata: “Perlahan, hai ‘Umar. Kalau dia ini dari Bani ‘Adi bin Ka’b, tentu kau tak akan berkata begini.”
‘Umar membalas: “Tunggu, hai ‘Abbas. Demi Allah, sungguh keislamanmu lebih aku cintai daripada keislaman Al-Khaththab (bapak ‘Umar) kalaupun dia masuk Islam. Mengapa tidak, karena keislamanmu lebih dicintai oleh Rasulullah n daripada keislaman Al-Khaththab.”
Rasulullah n pun berkata: “Bawa dia pergi ke tempatmu, hai ‘Abbas. Besok pagi bawa dia kepadaku.”
Aku pun melaksanakan perintah beliau.
Esok harinya, aku membawa Abu Sufyan menemui Rasulullah n. Kemudian beliau pun berkata: “Celaka engkau, hai Abu Sufyan! Apa belum tiba waktunya kau tahu bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah?”
Abu Sufyan berkata: “Demi bapak dan ibuku tebusanmu, alangkah santunnya engkau. Alangkah pemurah dan hebatnya engkau menyambung tali silaturrahmi!! Demi Allah, sungguh aku sudah menyangka seandainya bersama Allah ada yang lain tentulah dia menyelamatkanku.”
Beliau berkata lagi: “Celaka engkau, Abu Sufyan. Apa belum tiba waktunya kau tahu bahwa aku adalah Rasul Allah?”
Kata Abu Sufyan: “Demi bapak dan ibuku tebusanmu, alangkah santunnya engkau. Alangkah pemurah dan hebatnya engkau menyambung tali silaturrahmi!! Adapun ini, dalam diriku sampai saat ini masih ada ganjalan.”
‘Abbas segera berkata kepadanya: “Celaka engkau, cepat masuk Islam sebelum lehermu ditebas.”
Lalu dia pun mengucapkan syahadat yang haq dan masuk Islam. ‘Abbas berkata: “Sebetulnya Abu Sufyan ini orang yang suka dihormati, maka berilah dia sesuatu.”
Kata Rasulullah n: “Baik. Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia aman. Siapa yang mengunci rumahnya, dia aman. Dan siapa yang masuk ke dalam Masjid (Al-Haram) dia aman.”
Ketika dia hendak kembali, Rasulullah n berkata: “Wahai ‘Abbas, tahan dia di tempat sempit di lembah ini, dekat lereng bukit agar dia melihat bala tentara Allah melintas.”
Aku pun berangkat untuk menahannya di tempat tersebut.
Satu persatu barisan tentara Allah itu lewat di hadapan Abu Sufyan. Setiap satu kabilah melintasinya, dia bertanya: “Ini kabilah apa?”
“Ini kabilah Sulaim,” kata ‘Abbas.
“Apa urusanku dengan Sulaim?” kata Abu Sufyan.
Kemudian lewat pula satu kabilah, Abu Sufyan bertanya lagi: “Ini kabilah apa?”
Kata ‘Abbas: “Ini Muzayyinah.”
Abu Sufyan menukas: “Apa urusanku dengan Muzayyinah?”
Demikianlah, hingga dia melihat Rasulullah n bersama pasukan hijau yang di dalamnya terdapat kaum Muhajirin dan Anshar. Tidak satu pun dia lihat dari mereka melainkan sikap yang lebih keras daripada besi. Sementara Rasulullah n berada di atas untanya Al-Qushwa, di antara Abu Bakr dan Usaid bin Hudhair.
Sementara bendera pasukan Anshar dibawa Sa’d bin ‘Ubadah, sedangkan bendera Nabi n bersama Az-Zubair. Abu Sufyan berkata melihat pasukan tersebut: “Subhanallah, hai ‘Abbas siapa mereka ini?”
Kata ‘Abbas: “Ini Rasulullah n di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar.”
Abu Sufyan pun berkomentar: “Hai Abul Fadhl, akhirnya kerajaan anak saudaramu ini telah menjadi kekuatan besar.”
‘Abbas segera membantah: “Wahai Abu Sufyan, inilah nubuwwah.”
“Betul, kalau begitu,” sahut Abu Sufyan.
Ketika Sa’d bin ‘Ubadah melintasi Abu Sufyan dan melihatnya, dia pun berkata: “Hari ini hari pertumpahan darah. Hari ini dihalalkan kehormatan. Hari ini Allah hinakan Quraisy.”
Mendengar ini, Abu Sufyan mengadu kepada Rasulullah n ketika beliau berpapasan dengannya: “Engkau memerintahkan agar memerangi kaummu sendiri? Sa’d dan yang bersamanya mengatakan bahwa dia memerangi kami. Hari ini hari pertumpahan darah. Hari ini dihalalkan kehormatan. Hari ini Allah hinakan Quraisy. Saya sumpahi engkau demi Allah, tentang urusan kaummu. Engkau adalah orang paling baik di antara mereka, paling penyayang dan menyambung kasih sayang.”
‘Utsman dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf menimpali: “Wahai Rasulullah, kami tidak merasa aman dengan sikap Sa’d, kalau-kalau dia menyerang Quraisy.”
Maka Rasulullah n segera menukas: “Wahai Abu Sufyan, hari ini adalah hari kasih sayang. Hari ini Allah memuliakan Quraisy.”
Kemudian beliau perintahkan mengambil bendera dari Sa’d dan menyerahkannya kepada putranya Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah, sehingga tidak keluar dari (keluarga)nya.
‘Abbas berkata kepada Abu Sufyan: “Pulanglah.” Setelah Abu Sufyan menemui kaumnya, ia berteriak dengan keras: “Wahai seluruh bangsa Quraisy. Ini Muhammad, dia datang kepada kalian dengan pasukan yang tidak mungkin kalian hadapi. Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan dia aman.”
Tiba-tiba istrinya, Hindun bintu ‘Utbah segera berdiri menarik kumisnya dan membentak: “Bunuh manusia gendut yang tak berguna ini.”
Abu Sufyan tetap berseru: “Celaka kalian, jangan hiraukan perempuan ini, selamatkan diri kalian. Siapa yang masuk rumah Abu Sufyan, dia selamat. Siapa yang masuk ke Masjid Al-Haram, dia selamat dan siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia selamat.”
Sebagian mereka menyahut: “Apa untungnya kami masuk rumahmu?”
Akhirnya mereka berpencar menyelamatkan diri. Ada yang masuk ke dalam rumahnya, ada pula yang menuju Masjid Al-Haram.
Perlahan tapi pasti, Rasulullah n mulai mendekati pintu kota Makkah. Beliau pun membelitkan sorbannya dan menundukkan kepalanya dalam-dalam hingga hampir menyentuh punggung kendaraannya, bersyukur memuji Allah l, melihat kemuliaan yang Allah l berikan kepadanya. Dahulu beliau keluar dari Makkah dalam keadaan terusir, dihinakan. Kini beliau kembali ke kampung halaman, dalam keadaan mulia dan dimuliakan.
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah l limpahkan untukmu, wahai junjungan.
(Bersambung InsyaAllah)