Hukum Safar dan Tinggal di Negeri Kafir

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya bekerja dan tinggal di negara kafir, seperti Korea, Jepang, dan Taiwan, walaupun dibolehkan untuk menjalankan ibadah? Terima kasih, Ustadz.

Jawaban:

Berikut ini penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah tentang hukum safar ke negeri kafir dan hukum tinggal di sana.

Safar ke negeri kafir tidak boleh kecuali apabila terpenuhi tiga syarat:

  1. Harus memiliki bekal ilmu untuk menepis syubhat-syubhat.
  2. Memiliki bekal agama (takwa) untuk mencegahnya dari nafsu syahwat.
  3. Ada kebutuhan untuk melakukan hal itu (safar ke negeri kafir tersebut).

Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, tidak boleh safar ke negeri kafir karena dalam safar itu ada keburukan atau dikhawatirkan timbul keburukan. Selain itu, pada safar tersebut ada perbuatan menyia-nyiakan harta karena seseorang akan mengeluarkan biaya yang banyak untuk safar tersebut.

Adapun ketika ada tuntutan hajat untuk safar ke sana dalam rangka berobat, mempelajari ilmu yang tidak ada di negaranya, sedangkan dia punya bekal ilmu agama dan ketakwaan sebagaimana yang telah kita sebutkan, maka tidak mengapa.

Adapun safar dalam rangka berwisata ke negeri-negeri kafir, ini bukanlah kebutuhan. Sebab, masih memungkinkan untuk berwisata ke negeri-negeri Islam yang para penduduknya tetap menjaga syiar-syiar Islam. Alhamdulillah negeri kita sekarang ini sudah menjadi daerah wisata di daerah tertentu. Jadi, seseorang bisa datang dan menghabiskan waktu liburnya di sana.

Baca juga: Penyimpangan-Penyimpangan dalam Safar

Adapun tinggal di negeri-negeri kafir, bahayanya sangat besar terhadap agama, akhlak, tingkah laku dan adab seorang muslim. Kami dan selain kami sudah menyaksikan adanya banyak perubahan (penyimpangan) dari orang-orang yang tinggal di sana. Ketika pulang, kondisi orang itu sudah berbeda dengan saat dia ketika berangkat. Mereka pulang menjadi fasik (rusak). Bahkan, sebagian mereka pulang dalam keadaan murtad dari agamanya, kafir (ingkar) terhadap agamanya dan agama-agama lainnya—semoga Allah melindungi kita darinya. Sampai-sampai ada yang betul-betul menolak dan memperolok-olok agama dan pemeluknya yang terdahulu maupun yang belakangan.

Oleh karena itu, hendaknya—bahkan harus—menjaga diri dari hal tersebut dan memenuhi syarat-syarat yang di atas yang akan mencegahnya terjatuh dalam kebinasaan.

Tinggal di negeri-negeri kafir harus memenuhi dua syarat pokok, yaitu:

  1. Rasa aman bagi agamanya.

Dalam arti bahwa dia memiliki bekal ilmu, iman, dan pendirian yang kuat sehingga menenangkan dirinya untuk tetap istiqamah di atas agamanya serta berhati-hati dari kesesatan dan penyimpangan. Dalam hatinya juga tertanam rasa permusuhan dan kebencian kepada orang kafir. Dia juga menjauhkan diri dari sikap loyal dan mencintai mereka. Sebab, loyal dan kepada mereka termasuk perkara yang bertentangan dengan keimanan kepada Allah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَّا تَجِدُ قَوۡمًا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka.” (al-Mujadalah: 22)

Baca juga: Al-Wala dan Al-Bara terhadap Orang Kafir

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥١ فَتَرَى ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ يُسَٰرِعُونَ فِيهِمۡ يَقُولُونَ نَخۡشَىٰٓ أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةٌۚ فَعَسَى ٱللَّهُ أَن يَأۡتِيَ بِٱلۡفَتۡحِ أَوۡ أَمۡرٍ مِّنۡ عِندِهِۦ فَيُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَآ أَسَرُّواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ نَٰدِمِينَ ٥٢

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (al-Maidah: 51—52)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda bahwa barang siapa mencintai suatu kaum, ia termasuk dari mereka; dan bahwa seseorang bersama dengan orang yang dia cintai. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Baca juga: Keharusan Membenci dan Berlepas Diri dari Orang Kafir

Mencintai para musuh Allah termasuk perkara yang sangat besar bahayanya bagi seorang muslim. Sebab, ketika seorang muslim mencintai mereka, konsekuensinya adalah menyepakati dan mengikuti mereka, atau minimalnya tidak mengingkari mereka. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ قَوْمًا فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa mencintai suatu kaum, ia termasuk golongan mereka.”

  1. Mampu menampakkan agamanya.

Artinya, dia bisa melaksanakan syiar-syiar Islam tanpa rintangan. Dia tidak dihalangi untuk menegakkan shalat, shalat Jumat, dan shalat berjamaah ketika ada yang bersamanya untuk shalat jamaah dan mendirikan shalat Jumat. Dia juga tidak dihalangi untuk menunaikan zakat, puasa, haji, dan syiar-syiar agama.

Apabila hal ini tidak terpenuhi, dia tidak boleh tinggal di negeri kafir tersebut. Dalam kondisi seperti itu, dia wajib berhijrah.

Baca juga: “Hijrah”, Apa yang Harus Dipelajari Dulu?

Dalam kitab al-Mughni (8/457) Imam Ibnu Qudamah menjelaskan pembagian manusia terkait dengan hijrah. Salah satunya, orang yang mampu untuk berhijrah, dalam keadaan dia tidak bisa menampakkan agamanya, tidak bisa menegakkan kewajiban-kewajiban agamanya ketika tinggal bersama orang-orang kafir.

Orang yang seperti ini wajib berhijrah berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ ظَالِمِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمۡۖ قَالُواْ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ قَالُوٓاْ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).” Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”  Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisa: 97)

Ini adalah ancaman keras, sebagai dalil wajibnya. Sebab, menunaikan kewajiban agama adalah kewajiban bagi setiap orang yang sanggup. Sementara itu, hijrah merupakan kewajiban yang penting dan penyempurnanya. Sesuatu yang menyebabkan sebuah kewajiban tidak akan sempurna, maka sesuatu tersebut menjadi wajib.

(Sumber: Syarah Tsalatsatul Ushul hlm. 132—134)

(Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar)