Pertanyaan:
Bagaimana hukum shalat di belakang imam yang orangnya perokok, sering menggibahi, bahkan mencaci kaum muslimin? Dia takmir di masjid tersebut.
Jawaban:
Sudah barang tentu, imam shalat hendaknya orang yang bertakwa dan berakhlak mulia, di samping baik dan bagus bacaan Al-Qur’annya. Hendaknya imam bukan orang yang fasik dan dibenci atau tidak disukai oleh masyarakatnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا تُرْفَعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ …
“Tiga (golongan orang) yang shalatnya tidak terangkat ke atas kepala mereka walau hanya sejengkal, (1) orang yang mengimami kaumnya dalam keadaan mereka membencinya ….” (HR. Ibnu Majah no. 971 dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 792)
Baca juga: Kriteria Imam dalam Shalat
Suka menggibah dan merokok termasuk perbuatan fasik dan biasanya tidak disukai oleh masyarakat. Meski demikian, tetap sah shalat di belakangnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Terkait dengan merokok, hal ini tidak menghalangi dia menjadi imam apabila dia seorang qari (baik bacaan Al-Qur’annya). Sebab, kemaksiatannya menjadi tanggungannya sendiri. Oleh karena itu, menurut pendapat yang lebih kuat, tidak disyaratkan sifat adil bagi seorang imam. Orang yang fasik dibolehkan menjadi imam.
Para sahabat radhiallahu anhum tetap shalat bermakmum di belakang para pelaku kefasikan. Contohnya, sahabat Ibnu Umar radhiallahu anhuma shalat di belakang al-Hajjaj, padahal al-Hajjaj sudah makruf sebagai sosok yang zalim dan curang. Semoga Allah melindungi kita dari yang seperti itu.
Bagaimanapun juga, menurut pendapat yang paling kuat, tidak disyaratkan sifat adil sebagai seorang imam. Hanya saja, disyaratkan bacaan Al-Qur’annya harus bagus. Orang yang buruk bacaan Al-Qur’annya tidak boleh dijadikan imam.” (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, 8/2, melalui Maktabah Syamilah)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya,
“Apa hukum shalat di belakang imam yang mencukur jenggot dan berpakaian isbal?”
Beliau menjawab sebagai berikut.
“Jika ada imam yang lebih bertakwa kepada Allah daripada dia, tentu shalat di belakang imam ini lebih utama. Akan tetapi, jika tidak mendapati imam yang seperti itu, atau jamaah sudah ada di masjid, sedangkan yang menjadi imam adalah laki-laki yang mencukur jenggotnya atau berpakaian isbal; tidak mengapa shalat di belakangnya. Sebab, menurut pendapat ulama yang lebih kuat (rajih), orang yang fasik tetap sah menjadi imam walaupun ada yang lebih bertakwa dan lebih utama daripadanya.” (Kitab ad-Da’wah (5) Ibnu Utsaimin 2/108, dan Fatawa ‘Ulama Baladil Haram hlm. 215—216)
Wallahu a’lam bish-shawab.