Kebenaran Tercampakkan karena Kedengkian dan Kesombongan

Nikmat-nikmat yang Allah subhanahu wa ta’ala limpahkan kepada umat manusia tidaklah bisa dihitung jumlah dan jenisnya. Salah satu nikmat paling agung yang Allah subhanahu wa ta’ala limpahkan adalah diciptakannya mereka di atas fitrah yang mulia, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ

“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (ar-Rum: 30)

Salah satu fitrah yang Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan bagi umat manusia adalah sikap mencintai kebenaran dan usaha untuk mencarinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hati adalah makhluk yang mencintai kebenaran, menginginkan, dan mencarinya.” (Majmu’ Fatawa, 10/88)

Beliau pun berkata, “Sesungguhnya kebenaran itu dicintai oleh fitrah yang baik. Bahkan, ia (kebenaran) itu lebih dicintai, lebih dimuliakan, dan lebih nikmat bagi fitrah daripada kebatilan yang tidak ada dasarnya. Sungguh, fitrah tidak menyukai hal ini.” (Majmu’ Fatawa, 16/338)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Agama Islam adalah agama yang hikmah. Maknanya, mengilmui kebenaran dan mengamalkannya dalam seluruh perkara.” (Taisirul Lathifil Mannan, hlm. 58)

Baca juga: Jalan Salaf Jaminan Kebenaran

Dengan demikian, apabila jiwa itu tetap berada di atas fitrahnya, ia tidak akan mencari apa pun selain kebenaran; dan kebenaran itu sungguh telah jelas, tidak tersamarkan lagi.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya kesempurnaan seseorang ada pada dua hal: (1) kemampuan membedakan antara kebenaran dan kebatilan; dan (2) lebih memilih kebenaran tersebut daripada kebatilan.

Kedudukan makhluk di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat, ditentukan oleh kadar perbedaan mereka dalam dua perkara tersebut. Sebab, dua perkara inilah yang menjadikan para nabi dipuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,

وَٱذۡكُرۡ عِبَٰدَنَآ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ أُوْلِي ٱلۡأَيۡدِي وَٱلۡأَبۡصَٰرِ

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang memiliki kekuatan dan ilmu-ilmu (yang tinggi).” (Shad: 45)

Makna الْأَيْدِي adalah ‘kuat dalam melaksanakan kebenaran’. Adapun makna الْأَبْصَارُ adalah ‘kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan dalam urusan agama’.

Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala menyifati mereka, para nabi, dengan kesempurnaan dalam memahami kebenaran, dan kesempurnaan dalam mengamalkannya.” (al-Jawabul Kafi, hlm. 139)

Baca juga: Jalan Kebenaran Hanya Satu

Oleh karena itulah, setiap hamba wajib berpegang teguh dengan fitrahnya yang masih lurus dan berhati-hati dari berbagai sebab yang bisa menghalanginya dari kebenaran. Ia juga harus takut dari segala sesuatu yang akan menyimpangkannya dari kebenaran. Apabila ada suatu hal yang telah menggelincirkannya dari kebenaran, dia segera kembali kepada kebenaran itu dan berusaha menggenggamnya dengan kuat.

Penyebab Terhalangi dari Kebenaran

Adapun faktor-faktor yang bisa menghalangi dan menggelincirkan seorang hamba dari kebenaran, sangat banyak jumlahnya. Hal itu bisa berasal dari diri sendiri, seperti kebodohan dan hawa nafsunya. Bisa juga dari luar dirinya, seperti setan dari golongan jin dan manusia.

Dari sekian banyak faktor tersebut, yang paling banyak menggelincirkan makhluk dari jalan Allah adalah al-kibr (kesombongan) dan hasad (kedengkian) yang melekat pada dirinya.

Kesombongan dan kedengkian inilah yang menyeret Iblis la’natullah alaih untuk durhaka kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kedurhakaan Iblis ini adalah kedurhakaan yang pertama kali terjadi di alam semesta. Hal itu karena Iblis iri dan dengki dengan keutamaan serta kedudukan yang dimiliki Adam alaihis salam. Seorang makhluk yang telah Allah subhanahu wa ta’ala pilih untuk menjadi khalifah di muka bumi. Allah subhanahu wa ta’ala mengajari beliau nama berbagai benda. Allah subhanahu wa ta’ala perintah pula para malaikat untuk sujud kepadanya. Semua inilah yang menyeret Iblis untuk durhaka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga: Hikmah Penciptaan Adam

Demikian pula kesombongan dan kedengkian membuat Yahudi enggan beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta mengingkari kenabian Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Mereka adalah ahli kitab, yang mengetahui berita akan diutusnya beliau shallallahu alaihi wa sallam melalui Taurat dan Injil. Sebelum beliau shallallahu alaihi wa sallam diutus, mereka juga sering menceritakan kepada orang-orang Arab, bahwa waktu diutusnya Muhammad shallallahu alaihi wa sallam telah dekat. Setelah diutusnya beliau shallallahu alaihi wa sallam, mereka juga betul-betul yakin bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah utusan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka sendiri.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَعۡرِفُونَهُۥ كَمَا يَعۡرِفُونَ أَبۡنَآءَهُمۡۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنۡهُمۡ لَيَكۡتُمُونَ ٱلۡحَقَّ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ

“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya sebagian mereka pasti menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya.” (al-Baqarah: 146)

Perkara yang menyeret mereka untuk mendustakan dan kufur kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah kesombongan dan kedengkian. Hal ini terjadi karena beliau shallallahu alaihi wa sallam bukan berasal dari bangsa Yahudi, yang mereka anggap lebih mulia daripada bangsa Arab.

Baca juga: Makar dan Tipu Daya Ahlul Kitab

Apabila kesombongan dan kedengkian itu mampu menyeret manusia ke dalam kekafiran, padahal dosa ini adalah dosa yang paling besar, bagaimana tidak mungkin ia juga akan menyeret mereka kepada dosa-dosa lain yang lebih kecil? Tentu hal tersebut sangatlah mudah, kecuali orang-orang yang mendapatkan perlindungan dan hidayah taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Hasad (Kedengkian)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَمۡ يَحۡسُدُونَ ٱلنَّاسَ عَلَىٰ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۖ

“Ataukah mereka (orang-orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah Allah berikan kepadanya?” (an-Nisa’: 54)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ تَحَاسَدُوا

“Janganlah kalian saling dengki.” (HR. Muslim)

Dalil-dalil di atas menunjukkan haramnya hasad (iri dan dengki). Oleh karena itu, setiap muslim wajib bersungguh-sungguh menjaga dirinya dari penyakit tersebut, serta khawatir dirinya akan terjatuh padanya. Selain itu, ia juga harus senantiasa berupaya untuk membersihkan diri darinya. Sebab, hasad itu sangat tersembunyi. Hasad bisa muncul sewaktu-waktu dan membinasakan dirinya. Wal ‘iyadzu billah.

Syaikh Abdurrahman al-Mu’allimi rahimahullah berkata,

“Hakikat hasad adalah apabila ada orang lain yang menerangkan kebenaran, dia (orang yang dalam hatinya ada iri dan dengki) menganggap bahwa apabila dia menerima kebenaran tersebut, berarti dia telah mengakui ilmu, keutamaan, dan kebenaran yang ada pada diri orang tersebut. Hal itu tentu akan semakin membesarkan kewibawaannya di mata umat, dan bisa jadi orang yang mengikutinya akan semakin banyak.

Sungguh, engkau akan menjumpai sebagian orang yang begitu berambisi menyalahkan orang lain, adalah dari kalangan ulama meskipun mereka melakukannya dengan cara yang batil. Semua ini karena kedengkiannya dan upayanya untuk menjatuhkan kedudukan orang yang ia dengki di mata umat. Perasaan iri dan dengki sering muncul di antara orang-orang yang seusia, sederajat, seprofesi, atau sekelas.” (at-Tankil, 2/190)

Baca juga: Berani Mengakui Kesalahan dan Kembali Kepada Kebenaran

Oleh karena itulah, kebanyakan orang akan menolak (tidak mau menerima) kebenaran apabila orang yang membawa kebenaran dianggap sederajat dengannya. Padahal, kalau yang menyampaikan adalah gurunya atau orang yang lebih tinggi darinya, dia akan menerima kebenaran tersebut.

Abu Hatim Ibnu Hibban rahimahullah berkata,

“Mayoritasnya, hasad (iri dan dengki) itu terjadi di antara orang-orang yang sederajat. Orang-orang yang sama profesinya, seperti para penulis, hanya akan hasad kepada sesama penulis. Sebagaimana halnya para hafizh, mereka hanya akan hasad kepada sesama hafizh pula.

Tidaklah seseorang mencapai suatu kedudukan dunia, kecuali pasti akan mendapati orang yang membencinya karena kedudukannya tersebut (karena iri dan dengki kepadanya). Maka dari itu, orang yang hasad adalah lawan yang senantiasa berusaha menjatuhkannya.” (Raudhatul ‘Uqala, hlm. 136)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata,

“Di antara sebab yang menghalangi seseorang untuk bersikap inshaf (adil dan ilmiah) adalah apa yang terjadi di antara orang-orang yang saling berlomba meraih suatu keutamaan—yaitu dengki. Hal ini terjadi pula dalam urusan kepemimpinan, baik kepemimpinan dunia maupun agama.

Oleh sebab itu, apabila setan telah mengembuskan (api hasad) pada dirinya, persaingan akan menjadi semakin sengit; hingga mencapai suatu keadaan yang bisa menjerumuskan keduanya untuk menolak segala sesuatu yang dibawa oleh lawannya (walaupun berupa kebenaran yang sangat jelas).

Dalam perseteruan ini, sungguh kita akan menyaksikan dan mendengarkan peristiwa-peristiwa mengherankan yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu, layaknya perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman. Mereka menolak kebenaran yang dibawa lawannya, bahkan membantahnya dengan cara yang batil.” (Adabuth Thalib, hlm. 91—92)

Baca juga: Dua Sifat yang Dibenci Para Pencari Kebenaran

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Kesimpulannya, hasad adalah akhlak yang tercela. Akan tetapi, yang sungguh memprihatinkan adalah bahwa kebanyakan hasad tersebut terjadi di antara para ulama dan penuntut ilmu. Ia bisa terjadi pula di antara sesama pedagang. Orang-orang yang sama profesinya, biasanya mereka akan saling hasad.

Hal yang paling memprihatinkan adalah hasad yang terjadi di antara para ulama karena ia lebih dahsyat. Namun, hasad yang terjadi di antara para penuntut ilmu bisa jadi juga lebih dahsyat. Padahal, semestinya orang-orang yang berilmu adalah orang yang paling jauh dari penyakit ini. Mereka seharusnya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (Kitabul ‘Ilmi, hlm. 74)

Kesombongan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

كَذَٰلِكَ يَطۡبَعُ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ قَلۡبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ

“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Ghafir: 35)

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Karena kesombongan inilah, orang-orang Yahudi terus-menerus berada di atas kebatilan mereka. Sebab, dalam hati mereka terdapat kesombongan, kedengkian, keras kepala, dan tabiat-tabiat jelek lainnya.” (Naqdhul Manthiq, hlm. 27)

Dari semua pemaparan ini, kita mendapatkan kejelasan bahwa kesombongan adalah salah satu penghalang untuk menerima kebenaran.

Apabila kesombongan telah memenuhi hati seseorang; dia akan menganggap dirinya tinggi dan sempurna sehingga merasa tidak membutuhkan orang lain. Hal ini juga membuatnya enggan untuk berintrospeksi diri, barangkali yang keliru adalah dirinya. Inilah keadaan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Orang yang sombong adalah yang menganggap dirinya lebih tinggi daripada orang lain (dalam segala perkara).” (at-Tabshirah, 2/222)

Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata,

“Orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai pemutus segala sesuatu, mereka tidak akan memedulikan apa pun. Mereka sama sekali tidak akan mau memperhitungkan berbagai hal yang bertentangan dengan pendapatnya. Mereka juga tidak mau introspeksi diri atau mengevaluasi pendapat-pendapatnya.

Hal ini tidak seperti sikap orang-orang yang berusaha mencurigai dirinya sendiri (barangkali kesalahan ada di pihaknya), dan akan berhenti tatkala menimbulkan suatu masalah (padahal inilah sikap orang-orang yang berakal).” (al-I’tisham, 2/269)

Baca juga: Jauhi Tiga Sumber Kesalahan

Orang-orang yang mengikuti kebenaran memiliki sifat tawadhu. Mereka senantiasa mengintrospeksi diri dan selalu berusaha mencari kebenaran. Oleh sebab itu, mereka tidak akan sungkan untuk mempertanyakan pendapatnya sendiri. Tidak pula enggan untuk mencari hakikat kebenaran dari suatu perkara, lebih-lebih pada hal-hal yang bisa menimbulkan masalah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Seseorang beralih dari suatu pendapat ke pendapat yang lain karena kejelasan yang ia dapatkan, ini merupakan sikap yang terpuji. Berbeda halnya dengan sikap orang yang sombong. Dia terus-menerus memegang suatu pendapat yang tidak memiliki hujah atau dalil yang kuat, (ini adalah sikap yang tercela).

Meninggalkan suatu pendapat yang telah jelas hujah atau dalilnya, atau berpindah dari suatu pendapat kepada pendapat lain karena adat dan mengikuti hawa nafsu, keduanya adalah sikap yang tercela.” (al-Fatawa al-Kubra, 5/125)

Terapi Hati dari Penyakit Sombong dan Hasad

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat (derajat)nya.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Makna tawadhu adalah menerima kebenaran dengan tunduk kepadanya, menghinakan diri, patuh, dan merendah. Kebenaran itulah yang mengatur dirinya, sebagaimana seorang raja mengatur kekuasaannya. Dengan inilah seorang hamba akan mendapatkan perangai tawadhu.

Agar bisa bersikap demikian, seorang muslim tentu membutuhkan ilmu, ikhlas, sabar, dan latihan yang terus-menerus; diiringi doa, serta senantiasa menjaga keselamatan hati dari penyakit-penyakitnya (ujub, riya, sum’ah sombong, hasad, dll).

قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ١٠

“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9—10)

Hammad bin Ibrahim berkata, “Kebenaran itu jelas dan mudah. Manusia pun pada asalnya diciptakan di atas fitrahnya untuk mengetahui, mencintai, dan menerima kebenaran tersebut, kecuali orang-orang yang telah rusak fitrahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintah Abu Dzar radhiallahu anhu untuk mengucapkan kebenaran walaupun pahit. Hal ini (kebenaran yang pahit rasanya) adalah bagi orang yang belum terlatih jiwanya. Demikian juga bagi para ahli bid’ah dan para pengekor hawa nafsu.” (ash-Shawarif ‘anil Haq, hlm. 41)

Baca juga: Godaan Hawa Nafsu

Ar-Raghib al-Asfahani berkata,

“Ucapan mereka bahwa kebenaran itu pahit, berlaku bagi orang yang belum terlatih jiwanya (untuk menerimanya) dan hatinya berpenyakit. Seorang penyair berkata,

فَمَنْ يَكُنْ ذَا فَمٍ مُرٍّ مَرِيضٍ         يَجِدْ مُرًّا بِهِ الْمَاءَ الزُّلَالَا

Orang yang mulutnya pahit karena sakit,

       akan mendapati air yang segar pun terasa pahit.

Oleh karena itu, orang yang sehat fitrahnya akan senang dengan (kebenaran) itu walaupun berat.” (adz-Dzari’ah ila Makarim asy-Syari’ah, hlm. 126)

Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Manusia itu tidak akan berubah dari berbagai tabiat jeleknya dan tidak akan meninggalkan kebiasaan yang disenanginya, kecuali dengan latihan-latihan yang keras dan pengobatan yang serius.” (A’lamul Hadits, 1/218)

Siapa pun yang jiwanya belum terlatih untuk menerima kebenaran, ia harus terus melatih dan mendidiknya sampai jiwanya mau mengikuti kebenaran dan tunduk kepadanya. Ia juga harus selalu mengoreksi amalan-amalan yang telah ia lakukan. Selain itu, ia harus senantiasa mensyukuri segala nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, ia akan mudah menerima kebenaran.

اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُا

“Ya Allah, tampakkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran di mata kami, dan karuniakanlah kepada kami taufik untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan di mata kami, dan karuniakanlah kepada kami taufik untuk menjauhinya.”

Baca juga: Saat Anda dalam Kebatilan: 10 Bahan Renungan

رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحًا تَرۡضَىٰهُ وَأَصۡلِحۡ لِي فِي ذُرِّيَّتِيٓۖ إِنِّي تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَإِنِّي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ

“Ya Rabbku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (al-Ahqaf: 15)

Ya Allah, limpahkanlah hati yang bersih dan selamat dan bersih kepada kami, kaum muslimin, mukminin, salafiyin; hati yang selalu menerima kebenaran, mencintainya, dan selalu mengutamakannya; hati yang putih bersih yang memancarkan cahaya iman, yang kukuh di atas kebenaran.

Amin ya Rabbal alamin.

 

Ditulis oleh Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan