Persaingan hidup yang semakin tinggi dan keras banyak memunculkan perilaku umat yang melanggar batasan syariat. Apabila perbuatan suka meminta-minta sudah bisa menyebabkan kemuliaan seseorang jatuh, yang lebih berat dari sekedar meminta-minta—seperti korupsi, mencuri, merampok, dsb.—lebih menghinakan pelakunya. Namun, toh perbuatan tersebut semakin sering dilakukan. Termasuk maraknya perilaku kaum wanita, hanya demi menginginkan enaknya hidup, mereka rela melakukan perbuatan yang menghilangkan kemuliaan mereka. Padahal agama ini telah menuntunkan agar mereka senantiasa menjaga kemuliaan diri mereka.
Iffah, sebuah kata yang pernah atau biasa kita dengar. Si Fulan ‘afif atau si Fulanah ‘afifah merupakan sebutan bagi lelaki dan wanita yang memiliki ‘iffah. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘iffah itu?
Definisi ‘Iffah
Secara bahasa, ‘iffah adalah menahan. Adapun secara istilah agama, ‘iffah ialah menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan.
Jadi, seorang yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan menginginkannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ
“Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya.” (an-Nur: 33)
Termasuk makna ‘iffah adalah menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسَۡٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ ٢٧٣
“Orang yang tidak tahu menyangka mereka (orang-orang fakir) itu adalah orang-orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta kepada manusia).” (al-Baqarah: 273)
Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu mengabarkan, orang-orang dari kalangan Anshar pernah meminta-minta kepada Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan beliau berikan hingga habislah apa yang ada pada beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka ketika itu,
مَا يَكُوْنُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ لاَ أَدَّخِرُهُ عَنْكُمْ، وَإِنَّهُ مَنْ يَسْتَعِفَّ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبّرِْهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَلَنْ تُعْطَوْا عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Kebaikan (harta) yang ada padaku tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta, Allah subhanahu wa ta’ala akan memelihara dan menjaganya. Siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta, Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikannya sabar. Siapa yang merasa cukup dengan Allah subhanahu wa ta’ala dari meminta kepada selain-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kecukupan kepadanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. al-Bukhari no. 6470 & Muslim no. 1053)[1]
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini ada anjuran untuk ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta), qana’ah (merasa cukup) dan bersabar atas kesempitan hidup dan kesulitan (hal yang tidak disukai) lainnya di dunia.” (Syarah Shahih Muslim, 7/145)
Menjadi Wanita yang ‘Afifah
Apabila seorang muslim dituntut untuk memiliki ‘iffah, demikian pula seorang muslimah. Hendaklah ia memiliki ‘iffah sehingga menjadi seorang wanita yang ‘afifah. Sebab, akhlak yang satu ini merupakan akhlak yang tinggi, mulia, dan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan, akhlak ini merupakan sifat hamba-hamba Allah yang saleh, yang senantiasa menghadirkan keagungan-Nya dan takut akan murka dan azab-Nya. Ia juga menjadi sifat bagi orang-orang yang selalu mencari keridhaan dan pahala-Nya.
Berkaitan dengan ‘iffah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh muslimah untuk menjaga kehormatan diri. Di antaranya:
1. Menundukkan pandangan mata (ghadhul bashar) dan menjaga kemaluannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka….” (an- Nur: 31)
Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Allah Jalla wa ‘Ala memerintah kaum mukminin dan mukminat untuk menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka. Termasuk menjaga kemaluan adalah menjaganya dari perbuatan zina, liwath (homoseksual), dan lesbian, serta menjaganya dengan tidak menampakkan dan menyingkapnya di hadapan manusia.” (Adhwa’ul Bayan, 6/186)
2. Tidak bepergian jauh (safar) sendirian tanpa didampingi mahramnya yang akan menjaga dan melindunginya dari gangguan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُسَافِرِ امرَأَةٌ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali didampingi mahramnya.” (HR. al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)
3. Tidak berjabat tangan dengan lelaki yang bukan mahramnya.
Sebab, bersentuhan dengan lawan jenis akan membangkitkan gejolak di dalam jiwa yang akan membuat hati itu condong kepada perbuatan keji dan hina.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah berkata,
“Secara mutlak tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, sama saja apakah wanita itu masih muda ataupun sudah tua. Sama saja apakah lelaki yang berjabat tangan denganya itu masih muda atau kakek tua. Sebab, berjabat tangan seperti ini akan menimbulkan godaan bagi kedua pihak.
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ إِلاَّ امْرَأَةً يَمْلِكُهَا
“Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita, kecuali tangan wanita yang dimilikinya (istri atau budak beliau).” (HR. al-Bukhari, no. 7214)
Tidak ada perbedaan antara jabat tangan yang dilakukan dengan memakai alas/penghalang (misalnya memakai kaos tangan atau kain) ataupun tanpa penghalang. Sebab, dalil dalam masalah ini sifatnya umum. Semua ini menutup jalan yang mengantarkan kepada keburukan.” (Majmu’ al-Fatawa, 1/185)
4. Tidak khalwat (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahram.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dalam sabdanya yang agung,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
“Tidak boleh sama sekali seorang lelaki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila bersama wanita itu ada mahramnya.” (HR. al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341)
5. Menjauh dari hal-hal yang dapat mendatangkan kejelekan, seperti mendengarkan musik, nyanyian, menonton film, gambar yang mengumbar aurat dan semisalnya.
Seorang muslimah yang cerdas adalah yang bisa memahami akibat yang ditimbulkan dari suatu perkara dan memahami cara-cara yang ditempuh orang-orang bodoh untuk menyesatkan dan meyimpangkannya. Ia akan menjauhkan diri dari membeli majalah-majalah perusak dan tak berfaedah, dan ia tidak akan membuang hartanya untuk merobek kehormatan dirinya dan menghilangkan ‘iffah-nya. Sebab, kehormatannya adalah sesuatu yang sangat mahal dan ‘iffah-nya adalah sesuatu yang sangat berharga.[2]
Memang usaha yang dilakukan untuk sebuah ‘iffah tidak ringan. Perlu perjuangan jiwa yang sungguh-sungguh dengan meminta tolong kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٦٩
“Orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabut: 69)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Catatan Kaki
[1] Lihat:
- Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Imam al-Qurthubi, 3/221.
- Makarimul Akhlaq, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 149, 152.
- Fathul Bari, 11/309, 311
- Al-‘Iffah Mazhahiruha wa Tsamaruha, hlm. 4
[2] Lihat al-‘Iffah, hlm. 8—10.
1 Comment
Comments are closed.