Jalan Menuju Surga

jalan menuju surga

Surga, itulah puncak tujuan dan harapan yang tertanam dalam sanubari setiap mukmin. Harapan meraih surga itulah yang menjadi mesin penggerak generasi awal umat Islam dalam menyambut ajakan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, membela agama-Nya, dan bersegera meraih keridhaan-Nya.

Dengan surga, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membangkitkan ruh juang pasukannya ketika Perang Badr. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda di tengah-tengah pasukannya,

قُومُوا إِلَى جَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ

“Majulah kalian menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi!” (HR. Muslim)

Di sini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidaklah menjanjikan kedudukan atau harta. Yang beliau janjikan adalah surga.

Baca juga:

Perang Badr Kubra

Dengan penyemangat ini, pasukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam seolah-olah telah melihat surga terpampang di depan mata sehingga kehidupan dunia menjadi tidak berarti di mata mereka. Kala itu, ada seorang anggota pasukan yang melemparkan kurma yang masih tersisa di tangannya dan maju berperang hingga terbunuh. Orang ini menganggap terlalu lama untuk masuk surga jika harus menghabiskan kurma yang ada di tangannya.

Sebuah Renungan

Seorang mukmin pasti meyakini bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara. Dia yakin pula bahwa perjalanan yang akan ditempuh sangatlah panjang karena masih ada dua jenjang kehidupan lagi setelah ini, yaitu kehidupan di alam kubur dan kehidupan akhirat yang kekal abadi.

Setiap mukmin yang membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menerangkan gambaran surga dengan beragam kenikmatannya, niscaya akan selalu berharap untuk mendapatkannya. Tentu ini merupakan cita-cita mulia dan akan menjadi kenyataan, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, jika diiringi dengan usaha.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا رَأَيْتُ مِثْلَ النَّارِ نَامَ هَارِبُهَا وَلَا مِثْلَ الْجَنَّةِ نَامَ طَالِبُهَا

“Aku tidaklah melihat layaknya neraka, orang yang lari darinya malah tidur. Aku juga tidak melihat seperti surga, orang yang mencarinya malah tidur.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 953)

Memang, untuk menggapai sesuatu yang mulia, dibutuhkan upaya yang maksimal dan usaha tanpa henti untuk menempuh jalannya, bukan hanya berangan-angan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ketika menyebutkan nikmat yang dianugerahkan kepada penduduk surga,

لِمِثۡلِ هَٰذَا فَلۡيَعۡمَلِ ٱلۡعَٰمِلُونَمَ

“Untuk (kemenangan) serupa ini, hendaklah beramal orang-orang yang mampu beramal.” (ash-Shaffat: 61)

Baca juga:

Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan hadits dari Abu Ayyub radhiallahu anhu, ia berkata, “Seorang lelaki mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, ‘Tunjukilah aku suatu amalan yang akan aku amalkan, yang dengannya aku akan didekatkan kepada surga dan dijauhkan dari api neraka!’

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

تَعْبُدُ اللهَ لَا تُشْرِكُ بِه شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيْ الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِك

Engkau menyembah Allah subhanahu wa ta’ala, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, dan menyambung silaturahmi.

Tatkala orang itu pergi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika orang itu berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan, niscaya ia akan masuk surga’.” (HR. Muslim, “Kitabul Iman”, no. 4)

Saudaraku, lihatlah surga yang tidaklah bisa diraih kecuali dengan mengikhlaskan peribadahan hanya untuk Dzat yang mencipta alam semesta dan dengan mengamalkan perintah agama. Lihat pula generasi awal umat ini, yang menyibukkan pikiran mereka adalah upaya meraih surga Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhkan diri dari azab-Nya. Mereka datang meminta bimbingan dan arahan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang jalan yang mengantarkan kepada cita-cita yang mulia ini.

Masih adakah kiranya orang, di zaman sekarang, yang meminta bimbingan dan nasihat kepada para ulama? Mayoritas manusia lebih memikirkan kemakmuran dunianya walaupun akhiratnya harus binasa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَعۡلَمُونَ ظَٰهِرًا مِّنَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ عَنِ ٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ غَٰفِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (ar-Rum: 7)

Akhlak yang Mengantarkan Seseorang Menuju Surga

Secara garis besar, jalan yang menyampaikan seseorang kepada surga—tentu setelah rahmat Allah—adalah menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, yaitu dengan memercayai segala berita yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, menjalankan perintah-perintah yang ada pada keduanya, serta menjauhi larangannya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدۡخِلۡهُ جَنَّٰتٍ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ وَذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ

“Barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (an-Nisa: 13)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ الله، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

Seluruh umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan.” Mereka (para sahabat) berkata, “Siapakah yang enggan, wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Barang siapa menaatiku, ia akan masuk surga. Barang siapa bermaksiat kepadaku (menentangku), sungguh ia telah enggan (masuk surga).” (HR. al-Bukhari, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Di antara amalan terbesar yang mengantarkan seseorang kepada negeri kedamaian adalah menuntut ilmu yang bermanfaat, yaitu mempelajari Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, serta mengamalkan isi kandungannya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya, dengan itu (menuntut ilmu), jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Baca juga:

Perjalanan Panjang Meraih Ilmu

Tidak diragukan bahwa akhlak mulia termasuk faktor utama yang akan membawa seseorang menuju surga. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika ditanya tentang hal yang seringnya akan memasukkan seorang ke dalam surga. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

التَّقْوَى وَحُسْنُ الْخُلُقِ

“Takwa dan akhlak yang mulia.” (Dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, no. 3443)

Di antara akhlak mulia tersebut adalah sebagai berikut:

Menyambung Silaturahmi

Silaturahmi diwujudkan dengan berbuat baik kepada karib kerabat, baik dalam bentuk perbuatan, ucapan, harta, maupun yang lainnya. Tentu, semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin besar pula kewajiban untuk berbuat baik kepadanya.

Menebarkan Salam

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَفْشِ السَّلَامَ، وَأَطْعِم ِالطَّعَامَ، وَصِلِ الْأَرْحَامَ، وَقُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، وَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“Tebarkanlah salam, berilah (orang) makanan, sambunglah karib kerabat (silaturahmi), berdirilah (shalat) pada malam hari ketika manusia tidur, maka masuklah kamu ke dalam surga dengan selamat.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan al-Hakim, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu; dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’)

Menebarkan salam akan mewujudkan kecintaan di tengah-tengah umat sehingga persatuan akan lebih erat dan gesekan-gesekan akan berkurang.

Jujur dalam Ucapan dan Perbuatan

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِّرِ وَإِنَّ الْبِّرَ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ

“Hendaklah kalian berlaku jujur, karena kejujuran akan menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan kepada surga.” (Muttafaqun alaih, dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu)

Kejujuran termasuk pilar keselamatan dunia dan akhirat. Kejujuran juga sebagai bukti indahnya perjalanan hidup seseorang, bersihnya hati, dan kuatnya akal.

Berbuat Baik kepada Orang Lain dengan Berinfak kepada Mereka Saat Lapang & Sempit

Hal ini menunjukkan kecintaan seseorang terhadap saudaranya dan membuktikan kebenaran imannya. Dia tidak takut akan menjadi fakir dengan berinfak, bahkan dia berharap pahala dan berkah pada hartanya.

Memaafkan Kesalahan Orang Lain & Mengendalikan Diri ketika Marah

Orang yang memiliki sifat seperti ini, dialah orang kuat yang sesungguhnya. Dia akan mulia di sisi Allah dan terhormat di mata manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدۡخِلۡهُ جَنَّٰتٍ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ وَذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُوَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤ وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ١٣٥ أُوْلَٰٓئِكَ جَزَآؤُهُم مَّغۡفِرَةٌ مِّن رَّبِّهِمۡ وَجَنَّٰتٌ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ وَنِعۡمَ أَجۡرُ ٱلۡعَٰمِلِينَ ١٣٦

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabbmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain; dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” (Ali Imran: 133—136)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ فِي أَيِّ الحُورِ شَاءَ

“Barang siapa menahan amarahnya padahal dia mampu melampiaskannya, Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan para makhluk sehingga Allah memberikan pilihan kepadanya berupa bidadari (surga) yang ia inginkan.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dll.; dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

Berbakti kepada Kedua Orang Tua

Orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, sangat diharapkan untuk masuk ke dalam surga. Lebih-lebih jika orang tuanya sudah tua, lemah, dan membutuhkan bantuan anaknya. Sebaliknya, orang yang durhaka dan tidak berbakti kepada keduanya, dialah orang yang hina.

رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ. قِيلَ: مَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh terhina, terhina, kemudian terhina.” Beliau ditanya, “Siapa dia, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang mendapati salah satu atau kedua orang tuanya dalam keadaan tua renta, tetapi hal itu tidak membuatnya masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,

“Dalam hadits ini ada anjuran untuk berbakti kepada kedua orang tua dan penjelasan mengenai besarnya pahala amalan ini. Wujud berbakti adalah berbuat baik kepada keduanya pada saat keduanya sudah tua dan lemah, dengan memberikan pelayanan, nafkah, atau hal lainnya yang menyebabkan seseorang masuk surga. Oleh karena itu, barang siapa menyia-nyiakan (kesempatan) untuk berbuat baik, berarti telah luput darinya (sebab) masuk surga sehingga Allah subhanahu wa ta’ala akan menghinakannya.” (Syarh Shahih al-Adab, 1/38)

Mengasuh dan Menyantuni Anak Yatim

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda sebagaimana disebutkan oleh sahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu anhu,

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْم فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا-وَقَالَ بِإِصْبِعَيْهِ السَّبَّابَةَ وَالْوُسْطَى

(Jarak antara) aku dan orang yang mengasuh anak yatim, ketika di surga, adalah seperti ini.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR. al-Bukhari, dalam “Kitabul Adab”)

Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati ayahnya saat ia belum berusia balig. Dengan mengasuh, menyantuni, dan berbuat baik kepada anak yatim, seseorang telah memberikan kebahagiaan dan kasih sayang kepada anak yang sangat merasakan kehilangan kasih sayang orang tuanya. Dengan demikian, kesedihannya akan terobati dan dia akan mampu berbesar hati.

Menyingkirkan Gangguan dari Jalan

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيْقٍ فَقَالَ: وَاللهِ لَأُنَحِّيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ، لَا يُؤْذِيْهِمْ. فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ

“Ada seorang lelaki yang melewati dahan pohon yang ada di tengah jalan, lalu berkata, Demi Allah, aku akan singkirkan dahan ini dari (jalan) kaum muslimin supaya tidak mengganggu mereka. Lalu orang tersebut dimasukkan (oleh Allah) ke dalam surga.” (HR. Muslim)

Baca juga:

Ramah Lingkungan

Lihatlah, wahai saudaraku! Karena kecintaannya terhadap kaum muslimin, dengan tulus, ia menyingkirkan dahan yang ada di jalan sehingga tidak mengganggu mereka. Padahal itu hanya dahan pohon yang mungkin tidak terlalu mengganggu. Seperti inilah hendaknya kecintaan kita terhadap saudara-saudara kita.

Meninggalkan Berdebat

Perdebatan bisa menyulut api permusuhan, menyebabkan perpecahan, dan menyeret kepada kedustaan. Akan tetapi, jika kondisi menuntut untuk berdebat, hendaklah seseorang melakukannya dengan kepala dingin dan bertujuan untuk menggapai kebenaran. Tentu saja, hal ini dilakukan dengan cara yang lemah lembut dan baik.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ

“Bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)

Namun, jika sudah keluar dari adab kesopanan, seperti berteriak-teriak di majelis, debat kusir, keras kepala, dan tidak ada iktikad mencari kebenaran, hendaklah perdebatan dihentikan dan ditinggalkan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Aku menjamin dengan rumah di bagian bawah surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia berada pada posisi yang benar; dengan rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun bercanda; dan dengan rumah di bagian atas surga bagi orang yang baik akhlaknya.” (HR. Abu Dawud; dinyatakan sahih oleh an-Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin)

Mengekang Hawa Nafsu

Jika hawa nafsu telah menguasai seseorang, ia akan kesulitan memandang sesuatu dengan jernih. Jika hati telah gelap dan tidak bisa memandang dengan baik, hati itu akan terhinggapi penyakit yang sangat berbahaya, yaitu mencintai kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Pada tahap berikutnya, kemuliaan akhlak pada dirinya akan pudar.

Orang yang seperti ini hendaklah dibimbing agar mau kembali kepada jalan kebenaran. Dia harus disadarkan bahwa perjuangan melawan hawa nafsu, meskipun sulit, akan membuahkan ketenteraman hidup di dunia dan surga di akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠ فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya).” (an-Nazi’at: 40—41)

Tidak cukup kita menghiasi diri dengan perangai yang mulia. Kita juga harus membersihkan diri dari noda dan hawa nafsu agar amal kita tidak sia-sia.

Memohon Surga kepada Allah

Di antara usaha yang tak boleh diremehkan agar meraih surga adalah berdoa. Sebab, surga adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, kita mencari dan memohon surga tersebut hanya kepada-Nya. Jika permohonan itu muncul dari hati yang tulus, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mengecewakan harapannya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ اللهَ الْجَنَّةَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قَالَتِ الْجَنَّةُ: اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ. وَمَنِ اسْتَجَارَ مِنَ النَّارِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَالَتِ النَّارُ: اللَّهُمَّ أَجِرْهُ مِنَ النَّارِ

Barang siapa memohon surga kepada Allah tiga kali, surga akan berkata, Wahai Allah, masukkanlah ia ke dalam surga! Barang siapa meminta perlindungan (kepada Allah) dari api neraka tiga kali, neraka akan berkata, Wahai Allah, lindungilah ia dari neraka.’” (HR. at-Tirmidzi dll., dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu; dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 6275)

Akhirnya, hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita memohon agar ditunjukkan kepada jalan yang mengantarkan kepada surga-Nya.

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.

Comments are closed.