Kisah sebelumnya…
Melihat kejadian ini, orang-orang yang lemah iman dan akalnya serta berangan-angan memiliki kekayaan seperti Qarun sadar. Allah berfirman,
وَيۡكَأَنَّ ٱللَّهَ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُۖ لَوۡلَآ أَن مَّنَّ ٱللَّهُ عَلَيۡنَا لَخَسَفَ بِنَاۖ وَيۡكَأَنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨٢
“Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (al-Qashash: 82)
Mereka pun sadar bahwa apa yang diterima Qarun bukanlah tanda keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Mereka mengakui pula kesalahan ucapan dan keinginan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَأَمَّا ٱلۡإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبۡتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكۡرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّيٓ أَكۡرَمَنِ ١٥ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبۡتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيۡهِ رِزۡقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّيٓ أَهَٰنَنِ ١٦
“Adapun manusia apabila Rabb-nya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, dia berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku.’ Adapun bila Rabb-nya mengujinya lalu membatasi rezekinya, dia berkata, ‘Rabb-ku menghinakanku’.” (al-Fajr: 15—16)
Itulah sebagian watak asli manusia yang sangat jahil lagi zalim. Manusia itu menyangka bahwa kemuliaan dan kenikmatan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya di dunia ini menunjukkan kemuliaan dirinya di sisi Allah dan kedekatan kepada-Nya.
Akan tetapi, jika فَقَدَرَ عَلَيۡهِ رِزۡقَهُۥ (Dia [Allah] membatasi rezekinya); maksudnya, menyempitkannya, sekadar menjadi makanan pokoknya, tidak ada sisa yang disimpan, menurut dia, berarti Allah subhanahu wa ta’ala menghinakannya.
Baca juga: Dunia dalam Pandangan Penghuninya
Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala membantah sangkaan mereka ini dengan firman-Nya,
كَلَّاۖ
“Sekali-kali tidak.” (al-Fajr: 17)
Seolah-olah Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa tidaklah setiap orang yang Aku beri nikmat di dunia ini, dia adalah mulia di sisi-Ku. Tidak pula setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, berarti dia hina di hadapan-Ku. Kaya, miskin, kelapangan, dan kesempitan; adalah ujian dari Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini agar Allah subhanahu wa ta’ala melihat siapa yang bersyukur kepada-Nya dan bersabar, sehingga Dia memberinya balasan yang besar atas sikap sabar dan syukur ini.[1]
Pada hakikatnya, inilah keadaan orang-orang kafir. Cinta, benci, kemuliaan, dan kehinaan hanya diukur dengan banyak sedikitnya harta. Adapun orang-orang yang beriman, kemuliaan itu ialah kalau dia dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan bertambahnya ketaatan kepada-Nya. Kalau dia diberi kelapangan dalam urusan dunia atau apa pun juga, dia bersyukur dan memuji Allah subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan karunia kepadanya. Seorang mukmin menyadari bahwa segala kemudahan dan kesenangan itu, bahkan setiap kesulitan yang dirasakannya, adalah berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا بِكُم مِّن نِّعۡمَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِۖ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah (datangnya).” (an-Nahl: 53)
Baca juga: Menyikapi Nikmat Dunia Sebagai Ujian
Jadi, Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang memberi kesenangan kepada seseorang atau menahannya.
Akan tetapi, kebanyakan manusia lupa keadaan masa lalunya setelah dia merasa berkecukupan. Bahkan, ada yang marah ketika diingatkan kembali kepada hal itu. Seandainya dia tidak senang jika diingatkan akan kesengsaraannya, lalu berdoa agar tidak mengalami kepahitan seperti dahulu dan banyak berbuat baik kepada sesama sebagai rasa syukur terlepas dari kesusahan di masa lalu, itu jauh lebih baik.
Orang-orang yang beriman memandang segala kesenangan—bahkan setiap kesusahan—adalah kenikmatan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tahu bahwa kesusahan, kesedihan, ataupun kesempitan itu akan menjadi pembasuh dosa dan kesalahan mereka. Demikianlah keadaan seorang mukmin.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
عَجَباً لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إلاَّ لِلْمُؤْمِنِ: إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكانَ خَيْراً لَهُ، وَإنْ أصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Sangat menakjubkan urusan seorang mukmin. Sungguh, semua urusannya adalah baik. Kalau dia ditimpa kesenangan dia bersyukur, hal itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar, hal itu pun menjadi kebaikan baginya. Hal itu tidak dirasakan selain oleh seorang mukmin.”[2]
Dunia Bukan Ukuran
Itulah sekelumit kisah Qarun, seorang Yahudi. Kebersamaan dan kekerabatannya dengan Nabi Musa alaihis salam tidak berguna sama sekali bagi dirinya. Kedekatan-kedekatan seperti ini, banyak diceritakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Kitab-Nya yang mulia. Tidak ada yang bermanfaat kedekatan itu selain ketakwaan.
Renungkanlah keadaan Azar, ayahanda Nabi Ibrahim alaihis salam; salah seorang putra Nabi Nuh alaihis salam, dan istri beliau. Demikian pula istri Nabi Luth alaihis salam. Bahkan, paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Thalib, juga tidak memetik manfaat dari hubungan dekatnya dengan beliau.
Di sini terlihat pula salah satu bahaya kesenangan (nikmat). Sebab, bisa jadi Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan nikmat kepada seseorang, tetapi justru menjadi sebab kehancurannya. Artinya, kenikmatan itu hanya menjadi ganti atau imbalan atas amalan saleh (kebaikan) yang dikerjakannya di dunia. Lalu ketika dia menghadap Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada kebaikan sedikit pun pada dirinya. Na’udzu billah min dzalik.
Baca juga: Kewajiban Mensyukuri Nikmat
Banyak pula di antara kita melihat orang-orang yang kaya di sekitarnya, lalu berangan-angan seandainya memiliki kekayaan seperti itu. Bisa bersenang-senang sebagaimana mereka, berbuat seperti mereka, dan seterusnya. Inilah yang diucapkan oleh orang-orang yang jahil di antara Bani Israil yang melihat kekayaan Qarun.
Demikianlah jiwa (nafsu) para pecinta dunia yang selalu terikat dengan hal-hal yang sifatnya lahiriah atau kebendaan. Akibatnya, mereka merasa takut akan keadaan yang buruk. Berbeda halnya dengan ahli ilmu (agama), jiwa mereka terikat pada hal-hal yang bersifat hakiki dan batin.
Sungguh, ujian yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala dapat berupa kesulitan dan kebinasaan. Namun, tak sedikit pula yang berupa kesenangan. Betapa banyak kita jumpai orang-orang yang diuji dengan kesulitan hidup, mereka mampu bertahan dan bersabar. Akan tetapi, giliran diuji dengan kesenangan, mereka berguguran. Jatuh terempas dan hilang dari percaturan hidup, lalu menjadi pelajaran bagi orang yang datang belakangan, bukan teladan yang harus ditiru. Wallahul musta’an.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَنَبۡلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةًۖ وَإِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (al-Anbiya: 35)
Baca juga: Saat Ujian Menerpa
Mereka yang mengaku beriman pasti menerima ujian sesuai dengan kadar keimanannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الٓمٓ ١ أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٣
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (al-Ankabut: 1—3)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang siapa yang paling berat menerima cobaan. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ
“(Yang paling berat menerima cobaan) adalah para nabi, kemudian yang paling serupa dengan mereka, lalu yang paling serupa dengan mereka. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar imannya. Kalau agama (imannya) kokoh, ujiannya pun semakin berat. Kalau agamanya rapuh/lemah, dia diuji sesuai dengan kadar keimanannya.”[3]
Sungguh, seandainya dunia yang menjadi tolok ukur kemuliaan dan keberhasilan, maka Qarun adalah orang yang paling mulia di dunia ini. Siapa pun yang saat ini sedemikian besar kekayaannya, belumlah mampu menyamai Qarun.
Baca juga: Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan
Coba perhatikan cerita Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu tentang kejadian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjauhi istri-istrinya selama satu bulan.
“Ketika Nabi Allah shallallahu alaihi wa sallam mengasingkan diri dari para istri beliau, aku masuk ke masjid. Aku melihat kaum muslimin mempermainkan kerikil sambil mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menceraikan istri-istri beliau. Itu terjadi sebelum ada perintah hijab….”
Umar pun menemui Hafshah, putrinya. Dia berkata, “Wahai Hafshah, sudah sebegitu rupa engkau menyakiti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Demi Allah, engkau sudah tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mencintaimu. Kalau bukan karena aku, tentu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sudah menceraikanmu.”
Mendengar hal ini, semakin hebat tangis Hafshah. Aku bertanya kepada Hafshah, “Di mana Rasulullah?”
“Di loteng tempat penyimpanan beliau,” kata Hafshah.
Kemudian aku mendatangi tempat itu. Aku melihat Rabah, pelayan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sedang duduk di depan pintu loteng tersebut. Dia menjulurkan kakinya ke anak tangga tempat naik turun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
“Hai Rabah, mintakan izin agar aku masuk menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Rabah hanya melihat ke arah kamar lalu menoleh kepada aku tanpa berkata apa-apa. Kemudian aku datang lagi memanggil Rabah sampai tiga kali. Pada yang ketiga aku mengeraskan suara, “Hai Rabah, mintakan izin agar aku masuk menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, karena mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengira aku datang karena Hafshah. Demi Allah, seandainya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan aku memenggal lehernya, pasti kupenggal.”
Baca juga: Di Balik Rumah Tangga Rasul (bagian 2)
Akhirnya Rabah mengisyaratkan agar aku naik ke loteng itu.
Aku pun naik menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang sedang berbaring di atas sehelai tikar. Kemudian aku duduk. Sementara itu, beliau mendekatkan sarungnya. Tidak ada yang lain selain itu. Ternyata tikar itu membekas di lambung beliau.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kecil itu. Aku melihat ada satu sha’ (kira-kira 544 gram) gandum dan qardh (dedaunan yang dihaluskan) sebanyak itu juga di sudut kamar. Ada juga kulit yang belum selesai disamak. Tak terasa air mataku bercucuran.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat dan bertanya, “Mengapa engkau menangis, hai putra al-Khaththab?”
“Wahai Nabi Allah, mengapa aku tidak menangis?! Tikar ini membekas begitu rupa di lambungmu. Simpananmu tidak lain hanya ini. Sementara itu, di sana Kaisar dan Kisra bergelimang dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang jernih. Padahal engkau adalah rasul Allah dan pilihan-Nya, tetapi hanya ini simpananmu.”
Beliau pun berkata, “Hai putra al-Khaththab, tidakkah engkau ridha akhirat bagian kita, sedangkan untuk mereka hanya dunia?”
“Tentu,” kataku.
Yang menjadi pelajaran bagi kita dalam kisah ini adalah penggalan yang terakhir ini. Artinya, kalau kemuliaan, keberhasilan, dan kebahagiaan diukur dengan harta, kedudukan, dan urusan dunia lainnya, tentu yang paling bahagia dan mulia adalah orang-orang semacam Fir’aun, Haman, Qarun, Heraklius, Hurmuzan, Abu Jahl, Abu Lahab, dan orang-orang kafir lainnya.
Baca juga: Merasa Cukup
Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat (1/465), dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya (3/1203), meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya,
يَا عَائِشَةُ، لَوْ شِئْتُ، لَسَارَتْ مَعِي جِبَالُ الذَّهَبِ
“Hai Aisyah, seandainya aku mau, pasti gunung-gunung emas akan berjalan bersamaku.”[4]
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengutus Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu anhu ke Bahrain. Abu Ubaidah pulang membawa jizyah penduduk negeri itu. Orang-orang Anshar pun mendengar kedatangan Abu Ubaidah. Mereka lalu menyengaja shalat Subuh bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Seusai shalat, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpaling. Para sahabat Anshar menampakkan diri kepada beliau. Begitu melihat mereka, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tersenyum, lalu berkata, “Aku kira kalian sudah mendengar bahwa Abu Ubaidah datang membawa sesuatu dari Bahrain?”
“Betul, wahai Rasulullah,” jawab mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda,
أَبْشِرُوا وَأَمِّلُوا مَا يَسُرُّكُمْ، فَوَاللهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنِّي أَخْشَى أنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم
“Bergembiralah dan bayangkanlah apa yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian, melainkan aku khawatir dunia dibentangkan kepada kalian, sebagaimana dibentangkan terhadap orang-orang yang sebelum kalian. Lalu kalian berlomba-lomba meraihnya. Kemudian dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka.”[5]
Baca juga: Kekayaan dan Kemiskinan yang Hakiki
Ternyata, dunia yang kita kejar justru akan menghancurkan kita. Lantas, apakah tidak boleh kita menjadi orang kaya? Tidak boleh berusaha? Bukan tidak boleh kita menjadi orang kaya. Bukan pula tidak boleh berusaha.
Para nabi saja ada di antara mereka yang jadi wirausahawan. Ada yang menjadi tukang kayu, seperti Nabi Zakariyya alaihis salam; pembuat baju besi, seperti Nabi Dawud alaihis salam, padahal beliau seorang raja besar. Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebelum menjadi rasul adalah seorang penggembala kambing yang menerima upahan dan pedagang yang sukses.
Siapa yang tak kenal Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, saudagar besar di kalangan sahabat?
Siapa pula yang tak kenal Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu? Sahabat ini datang ke Madinah sebatang kara tanpa membawa harta. Setiba di Madinah, dipersaudarakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan Sa’id bin Rabi’ radhiyallahu anhu dari kalangan Anshar.
Melihat keadaan Abdurrahman bin Auf yang tidak punya apa-apa untuk hidup di Madinah, Sa’id menawarkan separuh hartanya untuk Abdurrahman bin Auf. Tidak hanya itu, dia juga menawarkan agar Abdurrahman memilih salah seorang istrinya, mana yang dia sukai akan dia ceraikan. Apabila telah habis iddahnya, silakan dinikahi oleh Abdurrahman.
Akan tetapi, Abdurrahman hanya minta ditunjukkan di mana pasar penduduk Madinah. Tak lama sesudah itu, beliau sudah kembali membawa minyak samin, gandum, dan barang lain untuk hidup sehari-hari di Madinah. Selang beberapa waktu, Abdurrahman terlihat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seolah-olah sudah menikah. Ketika Abdurrahman menerangkan bahwa dia memang sudah menikah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendoakan keberkahan baginya lalu menyuruhnya mengadakan walimatul ‘urs (pesta pernikahan) walaupun dengan seekor kambing.[6]
Baca juga: Hijrah ke Madinah (bagian 2)
Jadi, bukan tidak boleh kaya dan berusaha. Akan tetapi, jangan jadikan semua itu buah mimpi dan angan-angan kita. Jangan jadikan dunia, cita-cita, dan tujuan hidup kita yang utama. Jangan berikan cinta sedikit pun terhadap dunia karena cinta dunia adalah pangkal kesalahan.
Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan,
مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ
“Siapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah pasti meletakkan rasa kaya (cukup) di dalam hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia datang kepadanya padahal ia (dunia itu) tidak menyukainya. Sebaliknya, siapa yang dunia menjadi tujuannya, Allah pasti meletakkan kemiskinan di depan matanya, dan mencerai-beraikan urusannya. Sementara itu, dunia tidak mendatanginya selain apa yang sudah ditentukan baginya.”[7]
Baca juga: Jangan Terpikat dengan Dunia
Alhasil, orang-orang yang beriman hanya sibuk mengabdikan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menaati-Nya serta menjaga diri dari syubhat dan hal-hal yang menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala, sementara itu dunia tetap berada dalam genggamannya. Dia merasakan nikmatnya sesuap nasi yang ditelannya, seteguk air yang diminumnya, tanpa dia harus pusing memikirkan apa lagi usaha yang harus dilakukannya, bagaimana dia harus menjaga agar usaha itu tetap lancar dan berkembang. Waktunya 24 jam terasa kurang untuk merasakan rindu dan berbincang dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Dia tidak risau, apalagi iri (ghibthah).[8]
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki
[1] Lihat Tafsir as-Sa’di tentang ayat ini.
[2] HR. Muslim, no. 2999.
[3] HR. at-Tirmidzi, (2/64), dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani (ash-Shahihah, 1/225).
[4] Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (2484) dengan syawahid-nya.
[5] HR. al-Bukhari, no. 3158, dan Muslim, no. 2961.
[6] Kisah ini diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 5155 dan Muslim no. 1427.
[7] HR. at-Tirmidzi no. 2465, Ibnu Majah no. 4105, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ (5/351), dan ash-Shahihah no. 950.
[8] Merasa senang dengan nikmat yang ada pada orang lain tanpa ada keinginan nikmat itu hilang dari orang tersebut.
Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib