Mengobati Penyakit Suka Sesama Jenis

Pertanyaan:

Saya mau konsultasi mengenai masalah/penyakit yang saya derita sejak usia 12 tahun sampai sekarang. Saya mengidap masalah/penyakit kelainan seksual/penyuka sesama jenis. Sekarang saya sudah mau menikah, tetapi saya tidak tahu cara menghadapi masalah ini atau bagaimana agar sembuh dari penyakit ini. Mohon jawaban, bimbingan, dan solusinya, Ustadz.

Jawaban:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللهِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، أَمَّا بَعْدُ:

Sebelum kami menjawab pertanyaan di atas, mohon Anda berkenan membaca dan mencermati kembali pembahasan-pembahasan berikut ini.

LGBT, Sebab Kehancuran & Disegerakannya Azab
Hadits-Hadits tentang Homoseksual
Homoseksual Menurut Ulama Empat Mazhab
Syubhat & Kerancuan Berpikir Pembela LGBT di Indonesia
Jangan Diamkan LGBT

Setelah memahami pembahasan-pembahasan penting di atas, maka kita akan mengilmui dengan yakin bahwa menyukai sesama jenis hukumnya adalah haram dan wajib untuk bersungguh-sungguh mengobatinya. Demikian pula, jangan sampai kita tertipu dengan propaganda orang-orang yang “melegalkan” penyuka sesama jenis dengan berbagai dalih dan alasan.

Adapun terkait jawaban dan solusi dari pertanyaan di atas (dan pertanyaan lain yang serupa)— dengan meminta pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala semata—, berikut sedikit yang bisa kami sampaikan secara ringkas. Sungguh, jawaban dari pertanyaan tersebut sangatlah penting dan membutuhkan penjelasan yang panjang. Namun, semoga yang ringkas ini tetap bermanfaat.

  1. Tidak ada obat dan solusi yang lebih bermanfaat, daripada tauhid dan ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Ketika menjelaskan obat dari ‘isyq [1], Imam Ibnu Qayim al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan,

“Obat bagi penyakit yang mematikan ini adalah mengetahui bahwa penyakit tersebut sebabnya adalah kejahilan dan kelalaiannya dari Allah ta’ala.

Yang pertama, hendaknya ia mengilmui tentang tauhid kepada Allah dan mengilmui apa yang menjadi ketetapan-Nya. Setelah itu, hendaknya ia melaksanakan berbagai peribadahan—baik ibadah yang tampak maupun yang tidak tampak—sehingga hatinya akan tersibukkan dari terus-menerus memikirkan hal-hal haram yang ia cintai tersebut. Hendaknya dia juga memperbanyak bersandar dan merendahkan diri kepada Allah agar Dia memalingkannya dari hal tersebut.

Hendaknya ia juga mengetahui bahwa tidak ada obat yang lebih bermanfaat daripada ikhlas kepada Allah. Ini merupakan obat yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an,

كَذَٰلِكَ لِنَصۡرِفَ عَنۡهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلۡفَحۡشَآءَۚ إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُخۡلِصِينَ 

‘Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang ikhlas.’ (Yusuf: 24)” (Lihat ad-Daa` wa ad-Dawaa` hlm. 212)[2]

Baca juga: Cara Agar Ikhlas dalam Beribadah

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan,

“Barang siapa yang kalbunya telah tertancap keimanan dan dia selalu mengikhlaskan semua urusannya hanya kepada Allah, maka dengan sebab keimanan dan kejujuran keikhlasannya; sungguh Allah akan menjauhkan segala macam keburukan, fahisyah, dan sebab-sebab yang dapat mengantarkan kepada kemaksiatan. Hal itu adalah balasan atas keimanan dan keikhlasannya, sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَلَقَدۡ هَمَّتۡ بِهِۦۖ وَهَمَّ بِهَا لَوۡلَآ أَن رَّءَا بُرۡهَٰنَ رَبِّهِۦۚ كَذَٰلِكَ لِنَصۡرِفَ عَنۡهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلۡفَحۡشَآءَۚ إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُخۡلَصِينَ 

“Sungguh, perempuan itu benar-benar telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Yusuf pun berkehendak kepadanya sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya. Demikianlah, Kami memalingkan darinya (Yusuf) keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia (Yusuf) termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)

(Hal ini) berdasarkan qira’ah yang meng-kasrah huruf lam (ٱلۡمُخۡلِصِينَ al-mukhlishin). Adapun (jika berdasarkan) qira’ah yang mem-fathah-nya (ٱلۡمُخۡلَصِينَ al-mukhlashin), maka makna asalnya adalah pilihan Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba. Hal ini mengandung makna bahwa hamba tersebut memiliki keikhlasan dalam dirinya. Oleh karena itu, ketika seorang hamba mengikhlaskan amalannya hanya untuk Allah, Dia akan memilih dan membersihkannya dari keburukan dan fahisyah. (Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan hlm. 407)

Kesimpulan nasihat yang pertama:

  • Hendaknya seseorang bersungguh-sungguh mempelajari dan mengilmui tentang tauhid, akidah, dan keimanan yang benar. Benar dan lurusnya akidah seorang hamba, demikian pula kuat dan jujurnya keimanan dan tauhid seorang hamba; adalah fondasi utama untuk mengatasi masalah yang Anda tanyakan.
  • Hendaknya seseorang bersungguh-sungguh untuk senantiasa memperbaiki keikhlasan pada setiap amal dan perbuatan, baik yang tampak maupun yang tidak tampak.
  • Apabila iman, tauhid, dan akidah seorang hamba telah benar dan lurus; kemudian dia senantiasa menjaga keikhlasannya dalam beramal saleh; sungguh Allah subhanahu wa ta’ala akan memilih dan membersihkannya dari berbagai keburukan, dosa, maksiat, dan fahisyah.
  1. Senantiasa kembali dan bertobat kepada Alah serta tidak berputus asa dari rahmat dan ampunan-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ َ 

Katakanlah (wahai Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az-Zumar: 53)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِلَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلٗا صَٰلِحًا فَأُوْلَٰٓئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّ‍َٔاتِهِمۡ حَسَنَٰتٍۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ٧٠ وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَإِنَّهُۥ يَتُوبُ إِلَى ٱللَّهِ مَتَابًا ٧١

“Kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh. Maka, Allah mengganti kejahatan mereka (dengan) kebaikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Siapa yang bertobat dan beramal saleh sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenarnya.” (al-Furqan: 70—71)

Baca juga: Kisah Pembunuh 100 Jiwa

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عَبْدًا أَصَابَ ذَنْبًا—وَرُبَّمَا قَالَ: أَذْنَبَ ذَنْبًا، فَقَالَ: رَبِّ أَذْنَبْتُ—وَرُبَّمَا قَالَ: أَصَبْتُ فَاغْفِرْ لِي

Sungguh, ada seorang hamba telah terjatuh dalam dosa (atau telah berbuat dosa). lantas hamba itu memohon ampun, “Wahai Rabbku, aku telah berbuat dosa (atau telah terjatuh dalam dosa), maka ampunilah aku.”

فَقَالَ رَبُّهُ: أَعَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، غَفَرْتُ لِعَبْدِي

Rabbnya berfirman, “Bukankah hamba-Ku (ini) mengetahui (mengilmui) bahwa ia mempunyai Rabb yang (Maha) mengampuni dosa dan (bersamaan dengan itu juga) mampu menghukumnya dengan sebab dosanya tersebut? (Sungguh) Aku telah mengampuni hamba-Ku.”

ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا أَوْ أَذْنَبَ ذَنْبًا فَقَالَ: رَبِّ أَذْنَبْتُ أَوْ أَصَبْتُ آخَرَ فَاغْفِرْهُ

Beberapa waktu kemudian, masya Allah, ia kembali terjatuh dalam dosa atau berbuat dosa. Ia pun memohon ampun, “Wahai Rabbku, aku telah berbuat dosa—atau telah terjatuh dalam dosa lagi, maka ampunilah dosaku.”

فَقَالَ: أَعَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، غَفَرْتُ لِعَبْدِي

Allah berfirman, “Bukankah hamba-Ku (ini) mengetahui (mengilmui) bahwa ia mempunyai Rabb yang (Maha) mengampuni dosa dan (bersamaan dengan itu juga) mampu menghukumnya dengan sebab dosanya tersebut? (Sungguh) Aku telah mengampuni hamba-Ku.”

ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ أَذْنَبَ ذَنْبًا—وَرُبَّمَا قَالَ: أَصَابَ ذَنْبًا. قَالَ: قَالَ: رَبِّ أَصَبْتُ—أَوْ قَالَ: أَذْنَبْتُ آخَرَ فَاغْفِرْهُ لِي

Beberapa waktu kemudian, masya Allah, ia kembali berbuat dosa (atau telah terjatuh dalam dosa). Ia pun memohon ampun, “Wahai Rabbku, aku telah terjatuh dalam dosa atau telah berbuat dosa lagi, maka ampunilah dosaku.”

Baca juga: Istigfar yang Paling Bagus

فَقَالَ: أَعَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، غَفَرْتُ لِعَبْدِي ثَلَاثًا فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ

Allah berfirman, “Bukankah hamba-Ku (ini) mengetahui (mengilmui) bahwa ia mempunyai Rabb yang (Maha) mengampuni dosa dan (bersamaan dengan itu juga) mampu menghukumnya dengan sebab dosanya tersebut? (Sungguh) Aku telah mengampuni hamba-Ku.

Setelah yang ketiga kalinya, (Allah berfirman), “Silakan ia melakukan sekehendaknya (yakni selama engkau segera bertobat—dengan memenuhi syarat-syaratnya—ketika melakukan dosa, maka Allah akan mengampuninya).”

(HR. al-Bukhari no. 7507 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu. Lihat ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari 25/163)

Dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj 17/75, setelah Imam Nawawi rahimahullah membawakan bab “Tetap Diterimanya Tobat dari Dosa, Walaupun Dosa Terulang Lagi dan Tobat Lagi”; beliau menjelaskan,

“Seandainya dosa itu berulang seratus kali atau seribu kali, bahkan lebih, lantas pelakunya selalu bertobat setiap kali melakukan dosa, niscaya akan diterima tobatnya dan gugur dosa-dosanya. Seandainya ia bertobat dari semua dosanya dengan satu kali tobat saja setelah semua dosanya; tobatnya tetap sah.”

Kesimpulan dari nasihat yang kedua:

  • Seorang hamba tidak boleh berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah subhanahu wa ta’ala. Sungguh, rahmat dan ampunan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman sangatlah luas.
  • Seorang hamba wajib senantiasa bertobat dari setiap dosa.
  • Allah subhanahu wa ta’ala akan senantiasa mengampuni dosa hamba-hamba-Nya walaupun hamba-hamba-Nya mengulangi dan terjatuh dalam dosa lagi; selama hamba-Nya beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang; demikian pula selama hamba-Nya senantiasa kembali dan bertobat kepada-Nya dengan tobat nasuha (tobat yang sebenarnya, dengan melaksanakan syarat-syarat diterimanya tobat).
  • Hal ini tidaklah berarti seorang hamba bisa seenaknya bermudah-mudah melakukan suatu dosa dengan beralasan nanti akan bertobat. Justru di antara syarat tobat ialah hendaknya dia jujur serta berazam kuat dan bertekad bulat untuk bersungguh-sungguh tidak mengulangi perbuatannya tersebut.
  • Hendaknya seorang hamba senantiasa mengiringi amalan kejelekan dengan amal saleh dan memperbanyaknya.
  1. Tidak bermudah-mudahan bersandar pada ampunan Allah subhanahu wa ta’ala ketika melakukan dosa

Jangan sampai seorang hamba salah memahami makna luasnya ampunan Allah subhanahu wa ta’ala. Ini adalah perkara yang sangat penting.

Sebab, terkadang seseorang menyadari bahwa dosa dan maksiat akan menyebabkan mudarat di dunia maupun di akhirat. Namun, kesalahpahamannya terkadang membuatnya bersandar pada ampunan Allah subhanahu wa ta’ala, atau menunda-nunda tobat, atau hanya beristigfar di lisan, atau hanya mengandalkan mengerjakan amalan sunnah, dan sebagainya.

Kebanyakan orang menyangka bahwa jika dia melakukan dosa apa pun, kemudian mengucapkan ‘astagfirullah’, efek dosa tersebut akan serta-merta hilang. Mereka menyangka bahwa hal ini termasuk husnuzhan (prasangka baik) kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Padahal, tidak demikian. Sebab, tidak mungkin seorang hamba berhusnuzhan (berprasangka baik) kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi bersamaan dengan itu malah keadaan amalannya jelek dan terus-menerus berbuat dosa besar.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Seorang mukmin berhusnuzhan kepada Rabbnya sehingga dia beramal kebaikan. Adapun seorang fajir bersuuzhan (berprasangka buruk) kepada Rabbnya sehingga dia beramal kejelekan.”

Baca juga: Agar Selalu Berbaik Sangka kepada Allah

Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menyebutkan bahwa perilaku suuzhan (prasangka buruk) kepada-Nya akan menyebabkan seseorang bergelimang dalam kemaksiatan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَالُواْ لِجُلُودِهِمۡ لِمَ شَهِدتُّمۡ عَلَيۡنَاۖ قَالُوٓاْ أَنطَقَنَا ٱللَّهُ ٱلَّذِيٓ أَنطَقَ كُلَّ شَيۡءٍۚ وَهُوَ خَلَقَكُمۡ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ ٢١ وَمَا كُنتُمۡ تَسۡتَتِرُونَ أَن يَشۡهَدَ عَلَيۡكُمۡ سَمۡعُكُمۡ وَلَآ أَبۡصَٰرُكُمۡ وَلَا جُلُودُكُمۡ وَلَٰكِن ظَنَنتُمۡ أَنَّ ٱللَّهَ لَا يَعۡلَمُ كَثِيرًا مِّمَّا تَعۡمَلُونَ ٢٢ وَذَٰلِكُمۡ ظَنُّكُمُ ٱلَّذِي ظَنَنتُم بِرَبِّكُمۡ أَرۡدَىٰكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم مِّنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٢٣

Mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” (Kulit) mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu dapat berbicara telah menjadikan kami dapat berbicara. Dialah yang menciptakan kamu pertama kali dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.” Kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu; bahkan kamu mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan. Itulah prasangkamu yang telah kamu sangkakan terhadap Rabbmu. (Prasangkamu) itu telah membinasakan kamu sehingga jadilah kamu termasuk orang-orang yang rugi. (Fushshilat: 21—23)

Orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas menjadi orang-orang yang rugi karena mereka bersuuzhan (berprasangka buruk) kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menyangka bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui apa yang mereka kerjakan. Perhatikan hal ini dengan sebaik-baiknya. Sebab, hal ini sangat penting.

Baca juga: Jangan Suuzhan kepada Allah

Bagaimana mungkin seorang hamba yang hatinya meyakini bahwa dia akan bertemu dengan Allah, meyakini bahwa Allah Maha Mendengar dan Melihat perbuatannya, meyakini bahwa Allah mengetahui segala amalannya yang tampak maupun tersembunyi, meyakini bahwa dia akan berdiri di hadapan Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban atas segala amalannya; tetapi (pada saat yang sama) dia terus-menerus berbuat dosa, melalaikan hak-hak Allah; kemudian mengaku berhusnuzhan (berprasangka baik) kepada Allah? Perbuatan semacam ini tidak lain hanyalah tipu daya hawa nafsu dan permainan angan-angan (yang menipu).

Kesimpulannya:

Husnuzhan (prasangka baik) kepada Allah subhanahu wa ta’ala harus dibarengi dengan menempuh sebab-sebab keselamatan. Adapun mengaku berhusnuzhan, tetapi bersamaan dengan itu terus-menerus menempuh jalan kecelakaan; maka ini disebut angan-angan (yang menipu). (Lihat ad-Daa` wa ad-Dawaa` hlm. 26)

  1. Senantiasa berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia melindungi dan menyembuhkannya dari penyakit dan perasaan menyukai sesama jenis tersebut.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 

مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit kecuali Dia turunkan obat untuk penyakit tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 5678 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat itu mengenai penyakit, akan sembuh dengan izin Allah azza wa jalla.” (HR. Muslim no. 2204, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلَّا قَدْ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan pula obatnya. (Hanya saja) ada orang yang mengetahuinya dan ada yang tidak.” (HR. Ahmad no. 3578, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu. Syaikh al-Albani Hadits menilai hadits ini sahih oleh dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 451)

Jika kita sudah mengilmui dan memahami bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya, hendaknya kita senantiasa meminta dan memohon kepada Dzat yang menurunkan obatnya. Bersungguh-sungguhlah dalam berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk meminta kesembuhan dan jalan keluar.

Boleh jadi, Anda sudah berdoa, tetapi kurang yakin atau lemah dalam bersungguh-sungguh. Atau, bisa jadi Anda sudah bersungguh-sungguh, tetapi masih melakukan hal-hal yang menyebabkan terhalangnya pengabulan doa.

Baca juga: Penghalang Terkabulnya Doa

Atau, barangkali Anda merasa “tidak pantas” berdoa karena Anda menilai diri Anda banyak bergelimang dosa?

Ibnu Uyainah rahimahullah mengatakan,

لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدًا الدُّعَاءَ مَا يَعْلَمُ فِي نَفْسِهِ يَعْنِي مِنَ التَّقْصِيرِ فَإِنَّ اللهَ قَدْ أَجَابَ دُعَاءَ شَرِّ خَلْقِهِ وَهُوَ إِبْلِيسُ حِينَ قَالَ: رَبِّ أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Janganlah pengetahuan seseorang terhadap dirinya sendiri berupa kekurangannya (dosa-dosanya) menghalanginya untuk berdoa kepada Allah. Sebab, sungguh Allah telah mengabulkan doa seburuk-buruk makhluk, yaitu Iblis, ketika dia memohon, “Wahai Rabbku, tangguhkanlah (usia)-ku sampai hari mereka (manusia) dibangkitkan.” (Fathul Bari 11/140)

Kesimpulan dari nasihat yang keempat:

  • Seorang hamba wajib beriman dan meyakini bahwa tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan suatu penyakit, kecuali Dia turunkan pula obatnya. Oleh karena itu, hendaknya dia senantiasa berdoa dan memohon kesembuhan kepada Allah, Dzat yang menurunkan obat segala penyakit.
  • Penilaian kita terhadap dosa-dosa kita sendiri jangan sampai menghalangi kita untuk berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga:

Takut Doa Tertolak Akibat Dosa
Saat Pengabulan Doa
  1. Bertakwa dan bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata,

“Apabila manusia bertakwa kepada Allah, menjauhi larangan-larangan Allah, dan menunaikan apa yang Allah wajibkan kepadanya; hal tersebut adalah sebab yang akan mengantarkan kepada jalan keluar/solusi (masalah) di dunia dan keselamatan di akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجًا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga.” (ath-Thalaq: 2—3) (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb 2/122)

Ketika menerangkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan,

“Barang siapa bertakwa kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, Allah akan memberinya jalan keluar/solusi dari masalah yang dia hadapi. Allah juga akan memberinya rezeki dari jalan yang dia tidak sangka-sangka, yakni dari arah yang sama sekali tidak terbetik dalam benaknya.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim 8/146)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

اِحْفَظِ اللهَ يَحفَظْكَ

“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.” (HR. at-Tirmidzi no. 2516 dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma. Syaikh al-Albani menilai hadits ini sahih dalam Shahih at-Tirmidzi no. 2516)

Baca juga: Takwa & Tawakal Cara Menghadapi Makar Musuh

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Ini adalah kalimat yang agung lagi mulia. ‘Jagalah (Allah)!’, yakni jagalah batasan-batasan syariat-Nya dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Demikian pula dengan mempelajari agama-Nya, yang dengannya akan tegak ibadah, agama, dan dakwahmu kepada Allah.

‘Jagalah Allah!’, niscaya Allah akan menjaga agamamu, keluargamu, hartamu, dan dirimu sendiri. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala membalas orang-orang yang telah berbuat ihsan dengan ihsan-Nya. Adapun perkara terpenting dari penjagaan Allah tersebut adalah Allah akan menjaga agamamu dan menyelamatkanmu dari penyimpangan dan kesesatan.” (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah hlm. 201)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُ

“Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (ath-Thalaq: 3)

Baca juga: Hakikat Tawakal

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata, “Maksudnya, Allah pasti akan mencukupi (keperluan)-nya.” (Majmu’ Fatawa Ibni Baz 2/170)

Kesimpulan dari nasihat yang kelima:

  • Seorang hamba wajib senantiasa bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Semua itu dilakukan di atas ilmu dan sesuai dengan apa yang diajarkan atau dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
  • Apabila seorang hamba bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Dia pasti akan memberinya jalan keluar dan solusi dari masalah yang dia hadapi. Allah subhanahu wa ta’ala juga akan memberinya rezeki dari arah yang dia tidak sangka-sangka. Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala akan menjaga agamanya, keluarganya, hartanya, dan hamba itu sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala juga akan menyelamatkannya dari penyimpangan dan kesesatan.
  • Seorang hamba wajib bertawakal dan menyandarkan semua urusannya hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila seorang hamba bertawakal, Allah-lah yang akan mencukupi urusannya.
  1. Menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Hendaknya seorang hamba senantiasa mengisi waktunya dengan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dalam bentuk shalat, puasa, berzikir, membaca Al-Qur’an, dll.

Allah subhanahu wa ta’ala berfiman,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ وَلَذِكۡرُ ٱللَّهِ أَكۡبَرُۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تَصۡنَعُونَ 

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Ankabut: 45)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menjelaskan,

“Sungguh, seorang hamba yang menegakkan shalat dengan menyempurnakan rukun-rukun, syarat-syarat, dan khusyuk; maka hatinya akan bersinar, kalbunya akan bersih, imannya bertambah, dorongan (untuk beramal) kebajikan akan menguat, dan hasrat (untuk berbuat) kejelekan akan berkurang atau bahkan hilang.” (Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan hlm. 632)

Baca juga: Shalat, Antara Diterima dan Tidak

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اِيَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian telah mempunyai kemampuan, hendaklah ia menikah! Sebab, menikah itu dapat lebih menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, barang siapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa! Sebab, hal itu dapat meredakan nafsunya.(HR. al-Bukhari no. 5066 dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ ذِكۡرًا كَثِيرًا ٤١ وَسَبِّحُوهُ بُكۡرَةً وَأَصِيلًا 

“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (al-Ahzab: 42)

Demikian pula ibadah-ibadah yang lainnya, seperti menuntut ilmu dan menyibukkan diri dengan ilmu, berbakti kepada orang tua, membantu tetangga, menyambung silaturahmi, menolong saudaranya yang membutuhkan, dll.

Dengan demikian, apabila seorang hamba menyibukkan dirinya sendiri untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala—selain akan memperoleh pahala dan keutamaan dari ibadah-ibadah tesebut—, dia akan terpalingkan dari memikirkan hal-hal atau bisikian-bisikan hati yang mendorongnya untuk berbuat jelek.

  1. Bersungguh-sungguh memutus segala media, wasilah, dan segala hal yang bisa mengarah dan mengantarkan kepada hal tersebut.

Di antara perkara penting yang harus selalu diperhatikan adalah masalah “ghadhdhul bashar”, yakni menahan pandangan dari yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ 

Katakanlah (wahai Nabi) kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (an-Nur: 30)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

“Ini merupakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka menahan pandangan matanya terhadap hal-hal yang diharamkan bagi mereka. Oleh karena itu, janganlah kaum mukimin memandang kecuali kepada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat. Demikian pula. hendaklah mereka menahan pandangannya dari wanita-wanita yang bukan mahramnya. Apabila pandangan mata mereka melihat sesuatu yang diharamkan tanpa sengaja, hendaklah ia memalingkan pandangan matanya dengan segera darinya.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim 6/41)

Imam an-Nawawi berdalil dengan ayat dalam surah An-Nur: 30 di atas ketika menjelaskan pendapat tentang haramnya melihat amrad (pemuda yang mulai tampak kumisnya, tetapi tidak berjenggot), kecuali sebatas hajat/kebutuhan; seperti ketika jual beli, serah terima (suatu barang), mengajar, dan semisalnya; karena darurat. Itu pun hanya dibatasi sesuai hajat/kebutuhan dan tidak boleh berlama-lama.

Lebih lanjut, Imam an-Nawawi juga menjelaskan bahwa jika pandangan itu disertai syahwat, haram hukumnya dalam semua keadaan—bukan hanya terbatas kepada amrad—. Bahkan, jika pandangan tersebut disertai syahwat, haram hukumnya bagi setiap mukalaf memandang kepada siapa pun—baik laki-laki maupun perempuan, baik mahram ataupun bukan—, kecuali memandang pihak yang diperbolehkan dipandang dengan syahwat (misal: istrinya). (Lihat at-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an hlm. 92)

Baca juga: Menahan Pandangan Mata

Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata,

“Pandangan mata adalah asal dari seluruh petaka yang menimpa seorang insan. Pandangan mata melahirkan lintasan di hati. Lintasan di hati melahirkan pikiran, kemudian timbul syahwat. Dari syahwat, lahir keinginan kuat yang akan menjadi kemantapan yang kukuh. Dari sini pasti akan terjadi perbuatan yang tidak ada seorang pun dapat mencegah dan menahannya. Oleh karena itu, dinyatakan, ‘Bersabar menahan pandangan itu lebih mudah daripada bersabar menanggung kepedihan setelahnya.’” (ad-Daa` wa ad-Dawaa` hlm. 234)

Ibnu Qayim al-Jauziyah rahimahullah juga menjelaskan, Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan mata sebagai cerminan hati. Apabila seorang hamba menjaga (menahan) pandangannya, hati akan menjaga (menahan) syahwat dan hasratnya. Namun, jika dia membebaskan pandangannya, niscaya hati akan membebaskan syahwatnya. (Raudhah al-Muhibbin 1/93)

Kesimpulan dari nasihat ketujuh:

  • Kaum mukminin wajib bersungguh-sungguh menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
  1. Menempuh ikhtiar yang tidak bertentangan dengan syariat.

Disyariatkan bagi seorang hamba untuk berikhtiar dan berobat, baik medis maupun nonmedis; dengan syarat tidak melanggar syariat.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

تَدَاوَوْا عِبَادَ الله؛ فَإِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ مَعَهُ شِفَاءً، إِلَّا الْهَرَمَ

“Wahai hamba Allah, berobatlah kalian! Sebab, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menurunkan penyakit, kecuali Dia juga menurunkan obatnya, kecuali sakit pikun.” (HR. Ibnu Majah no. 3436 dari sahabat Usamah bin Syarik radhiallahu anhu. Syaikh al-Albani menilai hadits ini sahih dalam Shahih Ibni Majah no. 2789)

Baca juga: Kaidah Penting Memahami Hubungan Sebab dan Akibat dalam Islam

Demikian sedikit jawaban yang bisa kami sampaikan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kesembuhan, jalan keluar, dan kemudahan dari masalah yang sedang Anda hadapi.

Sungguh, apabila seorang hamba ikhlas dan bertakwa kepada Allah, kemudian bersungguh-sungguh dalam bertawakal dan berikhtiar; niscaya Allah akan memberinya hidayah dan petunjuk kepada jalan-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِینَ جَـٰهَدُوا۟ فِینَا لَنَهۡدِیَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِینَ

“Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-‘Ankabut: 69)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan,

“Allah subhanahu wa ta’ala menggantungkan hidayah pada jihad. Oleh karena itu, manusia yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Adapun jihad yang paling wajib adalah menjihadi dirinya, menjihadi hawa nafsunya, menjihadi setan, dan menjihadi dunia.

Dengan demikian, barang siapa berjihad di jalan Allah dalam empat perkara ini, niscaya Allah akan memberinya hidayah kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang akan menyampaikan ke surga-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang meninggalkan jihad tersebut, dia akan terluput dari hidayah, sesuai dengan apa yang dia tinggalkan dari jihad tersebut.” (al-Fawa`id hlm. 59)

وَبِاللهِ التَّوْفِيْقُ، وَصَلَّى اللهُ عَلى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ


Catatan Kaki

[1] ‘Isyq adalah hasrat cinta yang sangat (yakni berlebihan), yang sangat mengkhawatirkan (membahayakan) jika seseorang tertimpa ‘isyq tersebut. (Lihat Madaarij as-Saalikiin 3/30)

[2] Penjelasan Imam Ibnul Qayyim tersebut, berdasarkan qiraa’ah Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, dan Ya’qub yang membaca ٱلۡمُخۡلِصِينَ (al-mukhlishin) dengan meng-kasrah huruf lam (لِ). Adapun qira’ah Nafi’, ‘Ashim, Hamzah, al-Kisa`i, Abu Ja’far, dan Khalaf; membaca ٱلۡمُخۡلَصِينَ (al-mukhlashin) dengan mem-fathah huruf laam (لَ). (Lihat asy-Syamil fi Qira’at al-`A`immah al-‘Asyr al-Kawamil hlm. 238)

 

(Ustadz Abu Ismail Arif)