Al-haq (kebenaran) dan kebatilan merupakan dua perkara yang bertolak belakang, tidak akan bisa bertemu, apalagi menyatu. Al-haq adalah sesuatu yang sudah jelas sebagaimana jelasnya kebatilan. Jadi, tidak ada pertengahan di antara keduanya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
فَمَاذَا بَعۡدَ ٱلۡحَقِّ إِلَّا ٱلضَّلَٰلُۖ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
وَهَدَيۡنَٰهُ ٱلنَّجۡدَيۡنِ
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (al-Balad: 10)
As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Kami menunjukkan kepadanya dua jalan, yaitu jalan kebaikan dan jalan kejelekan. Kami jelaskan pula antara petunjuk dan kesesatan serta antara kebenaran dan penyimpangan. Nikmat yang besar ini menuntut setiap hamba agar melaksanakan hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala, mensyukuri nikmat-Nya, dan tidak mempergunakannya dalam bermaksiat kepada-Nya. Namun, manusia tidak mau melaksanakannya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 855)
إِنَّا هَدَيۡنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insan: 3)
Baca juga: Jalan Salaf Jaminan Kebenaran
As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para rasul kepada manusia. Allah juga menurunkan kitab-kitab kepada mereka. Dia subhanahu wa ta’ala memberikan hidayah kepada jalan yang akan mengantarkan kepada-Nya. Allah menjelaskannya dan menganjurkannya. Dia juga telah menerangkan apa yang akan didapatkan apabila telah sampai kepada-Nya.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan jalan kebinasaan dan memperingatkan darinya. Allah juag memberitakan apa yang didapatkan apabila dia menempuh jalan kebinasaan dan malapetaka tersebut.
Manusia pun terbagi. Ada yang mensyukuri nikmat Allah subhanahu wa ta’ala dan melaksanakan segala hak Allah subhanahu wa ta’ala.
Ada pula yang kufur terhadap nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahinya nikmat agama dan dunia, tetapi dia menolaknya dan kufur kepada Rabb-nya. Dia justru menempuh jalan menuju kebinasaan.” (Tafsir as-Sa’di)
Kejelasan dua jalan yang berbeda ini sesungguhnya bagaikan matahari di siang bolong dan bulan purnama di malam hari. Akan tetapi, hanya sedikit orang yang mengenalnya, apalagi mengilmuinya. Hal ini karena beberapa faktor, di antaranya:
- Kebodohan yang menguasai setiap muslim.
- Kelalaian manusia sehingga dia tidak mau mencari dan mempelajarinya.
- Tidak memiliki niat untuk mendapatkannya.
- Munculnya para penyeru kesesatan yang mengaku sebagai pengikut Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tetapi berjiwa iblis.
Masih banyak faktor lain yang menyebabkan tidak jelasnya kebenaran dan kebatilan. Apabila kita memperhatikan dengan saksama, kita bisa menyimpulkan bahwa seseorang bisa mendapatkan al-haq, berjalan di atasnya, dan terjauhkan dari kebatilan, adalah semata hidayah dari Sang Pencipta.
Hakikat Hidayah dan Macamnya
Kata hidayah berasal dari kata al-hadyu. Maknanya ialah bimbingan hidup, perilaku, dan jalan. Ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
هُدًى لِّلۡمُتَّقِينَ
“Sebagai pembimbing hidup bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 2)
Ali radhiallahu anhu berkata, “Rasulullah berkata kepadaku,
يَا عَلِيُّ، سَلِ اللهَ الْهُدَى
‘Wahai Ali, mintalah bimbingan kepada Allah’.” (HR. an-Nasa’i no. 5225; dinialai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i no. 5210)
Dalam hadits yang lain disebutkan,
إِنَّ أَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya sebaik-baik bimbingan adalah bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (HR. al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2076. Asalnya dalam riwayat Muslim no. 867 dari sahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu)
إِنَّ الْهَدْيَ الصَّالِحَ وَالسَّمْتَ الصَّالِحَ وَالْاِقْتِصَادَ جُزْءٌ مِنْ خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
“Bimbingan yang baik, perilaku yang baik, dan berlaku lurus adalah satu bagian dari 25 bagian kenabian.” (Lihat Shahih wa Dha’if al-Jami’ no. 3756 dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma)
Kita mengetahui bahwa salah satu nama Allah subhanahu wa ta’ala adalah “al-Haadi”. Artinya, Dialah yang telah memperlihatkan dan mengajarkan jalan untuk mengenal-Nya sehingga mereka mengakui rububiyah Allah subhanahu wa ta’ala. Dialah yang membimbing makhluk menuju apa yang mereka butuhkan untuk mempertahankan hidupnya.
Terkadang, al-hadyu berarti ketaatan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۖ فَبِهُدَىٰهُمُ ٱقۡتَدِهۡۗ
“Mereka itulah orang-orang yang telah dibimbing menuju ketaatan, maka ikutilah ketaatan mereka.” (al-An’am: 90) (Lihat al-Qamus bab “Ha” dan an-Nihayah karya Ibnu Atsir 5/253)
Ada dua macam bentuk hidayah.
Bentuk hidayah ini ialah penjelasan dan keterangan menuju sebuah jalan. Hidayah ini dimiliki oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan oleh makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Al-Qur’an,
إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرًا كَبِيرًا
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (al-Isra: 9)
Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang Nabi-Nya,
وَإِنَّكَ لَتَهۡدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسۡتَقِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy-Syura: 52)
وَقَالَ ٱلَّذِيٓ ءَامَنَ يَٰقَوۡمِ ٱتَّبِعُونِ أَهۡدِكُمۡ سَبِيلَ ٱلرَّشَادِ
Orang yang beriman itu berkata, “Wahai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar.” (Ghafir: 38)
Hidayah ini hanya dimiliki oleh Allah subhanahu wa ta’ala semata. Dia akan memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dia pun tidak memberikannya kepada yang tidak dikehendaki-Nya pula.
Tentang hidayah ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسۡتَقِيمٍ
“Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.” (al-Baqarah: 142)
إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (al-Qashash: 56)
Orang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala telah mendapatkan kedua jenis hidayah ini. Adapun selain orang yang bertakwa, tidak mendapatkan hidayah taufik. Hidayah bayan tanpa hidayah taufik untuk mengamalkannya, tentu saja bukan hidayah yang hakiki dan sempurna.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 23)
Syaikhul Islam bin Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang sekadar berilmu tentang kebenaran tanpa mengamalkannya, dia belum mendapatkan hidayah.” (Amradhul Qulub hlm. 32)
Contoh riil kedua jenis hidayah ini adalah ketika Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya menjelaskan tentang keharaman sesuatu perkara melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selanjutnya, seorang dai menyampaikan ilmunya kepada umat tentang keharaman hal ini. Ini termasuk jenis hidayah yang pertama, yaitu hidayah ad-dilalah dan al-bayan. Apabila umat ini menaati larangan tersebut dengan meninggalkannya, inilah hidayah taufik dari Allah.
Abu Thalib, paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sekaligus pembela beliau saat berdakwah, mendapatkan hidayah ad-dilalah dan al-bayan dari beliau. Dia mengetahui agama yang benar. Namun, dia tidak mendapatkan hidayah taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala, sekalipun dia dekat dengan Rasul dari sisi nasab dan usaha untuk melindunginya. Hal itu tidak menjamin dia beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
“Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”
Baca juga: Menggapai Hidayah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Manusia bisa saja mengaku bahwa Muhammad adalah rasul Allah dan bahwa Al-Qur’an adalah benar, secara global. Akan tetapi, dia tidak mengetahui berbagai ilmu tentang hal yang bermanfaat dan yang bermudarat baginya. Dia tidak mengetahui segala perintah dan larangan berikut segala cabangnya secara terperinci. Kalaupun ada yang telah diketahuinya, sangat jauh dari pengamalan.
Jika ditakdirkan sampai kepadanya segala perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya menjelaskan hal-hal yang bersifat umum dan menyeluruh. Tidak mungkin selainnya, tidak disebutkan segala hal yang menjadi kekhususan setiap hamba.
Berdasarkan ini semua, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah manusia untuk meminta hidayah ke jalan-Nya yang lurus. Hidayah kepada jalan yang lurus mencakup pengetahuan tentang segala yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam secara terperinci. Termasuk pula mengilmui segala perintah beliau secara menyeluruh. Bahkan, mencakup pula ilham untuk mengamalkan ilmu tersebut. Sebab, jika seseorang hanya mengilmui kebenaran tanpa mengamalkannya, itu bukanlah hidayah.
Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya setelah perdamaian Hudaibiyah,
إِنَّا فَتَحۡنَا لَكَ فَتۡحًا مُّبِينًا ١ لِّيَغۡفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكَ وَيَهۡدِيَكَ صِرَٰطًا مُّسۡتَقِيمًا ٢
“Sesungguhnya Kami telah membukakan kemenangan yang nyata bagimu agar Allah mengampuni dosamu yang telah lewat dan yang akan datang serta agar Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberimu hidayah kepada jalan yang lurus.” (al-Fath: 1—2)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Nabi Musa dan Harun alaihimas salam,
وَءَاتَيۡنَٰهُمَا ٱلۡكِتَٰبَ ٱلۡمُسۡتَبِينَ ١١٧ وَهَدَيۡنَٰهُمَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ١١٨
“Dan Kami telah memberi keduanya kitab yang jelas, dan Kami menunjuki keduanya ke jalan yang lurus.” (ash-Shaffat: 117—118)
Baca juga: Sebab-Sebab Mendapatkan Hidayah
Akan tetapi, kaum muslimin berselisih tentang berita yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu ilmu yang terkait dengan keyakinan dan amalan, padahal mereka bersepakat bahwa Muhammad adalah haq dan Al-Qur’an adalah haq.
Jika masing-masing mendapatkan hidayah kepada jalan yang lurus, niscaya mereka tidak akan berselisih. Justru kebanyakan orang mengetahui perintah Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi mereka memaksiatinya. Sekiranya mereka mendapatkan hidayah kepada jalan yang lurus, niscaya mereka akan mengamalkan segala perintah tersebut dan meninggalkan segala yang dilarang.
Orang-orang dari umat ini yang telah mendapatkan hidayah Allah subhanahu wa ta’ala, merekalah wali-wali Allah yang bertakwa. Termasuk salah satu sebab besar mereka mendapatkan hidayah itu adalah doa mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala setiap shalat. Mereka juga mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang membutuhkan hidayah kepada jalan yang lurus.” (Amradhul Qulub hlm. 31—33)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, adalah hidayah al-bayan dan ad-dilalah kemudian hidayah taufik dan ilham. Hidayah taufik dan ilham ini datang setelah hidayah ad-dilalah dan al-bayan. Tidak mungkin seseorang sampai kepada ad-dilalah dan al-bayan melainkan melalui para rasul.
Apabila terwujud al-bayan dan ad-dilalah, lalu diilmui, akan terwujud hidayah taufik. Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikan iman di dalam hati, mencintainya, menghiasinya, dan menjadikan hati itu mengutamakan iman tersebut, ridha, dan berloyalitas kepadanya.
Semua ini merupakan wujud dua hidayah (hidayah al-bayan wad-dilalah dan hidayah taufik). Keberhasilan tidak akan terwujud kecuali dengan keduanya.
Baca juga: Meraih Hidayah dengan Dakwah Salafiyah
Kedua hidayah ini mengandung:
- ilmu terhadap kebenaran yang telah diketahuinya, baik secara terperinci maupun global,
- ilham (untuk mengamalkan) kebenaran dan menjadikan kita termasuk orang yang mengikutinya, baik dalam bentuk lahiriah maupun batiniah,
- kemampuan untuk melaksanakan konsekuensi petunjuk tersebut, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun tekad yang kuat.
Hal ini terjadi secara berkesinambungan dan kokoh sampai kita meninggal dunia.
Berdasarkan hal ini, diketahui bahwa seorang hamba sangat butuh untuk meminta melalui doa di atas,
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
“Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”
Dari sini pula diketahui kekeliruan orang yang mengatakan, “Apabila kita telah mendapatkan hidayah, untuk apa kita memintanya lagi?”
Sungguh, kebenaran yang tidak kita ketahui, lebih banyak daripada yang kita ketahui. Apa yang tidak ingin kita kerjakan karena malas atau menggampangkannya, sama banyak dengan apa yang kita inginkan, lebih banyak, atau lebih sedikit. Apa yang kita inginkan tetapi tidak mampu kita lakukan, juga demikian. Demikian juga apa yang tidak kita ketahui secara global dan kita tidak mendapatkan hidayah secara terperinci, tidak terhitung.
Oleh karena itu, kita membutuhkan hidayah yang sempurna. Barang siapa telah mendapatkan kesempurnaan dalam hidayah ini, maka meminta hidayah artinya meminta kekokohan dan selalu berada di atasnya.” (Lihat Tafsir al-Qayyim karya Ibnul Qayyim hlm. 9)
Hidayah Memisahkan Hati yang Hidup dan yang Mati
Hati disifati dengan hidup dan mati. Hati memiliki tiga keadaan: sehat (selamat), berpenyakit, atau mati. Dari ketiga jenis hati ini, orang yang paling celaka adalah yang memiliki hati yang mati.
Banyak definisi ulama tentang hati yang sehat (selamat). Akan tetapi, definisi yang paling mencakup adalah hati yang selamat dari dorongan syahwat yang menyelisihi perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan larangan-Nya, serta selamat dari segala syubhat yang mengotori berita (dari Allah dan Rasul-Nya), selamat dari bentuk penghambaan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, selamat dari berhukum kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, selamat dalam cintanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menjadikan hukum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai aturan dalam takut, harap, dan tawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bertobat kepada-Nya, menghinakan diri di hadapan-Nya, mengutamakan ridha-Nya dalam setiap kondisi, dan menjauhkan diri dari murka-Nya dengan berbagai cara.
Inilah hakikat ubudiyah (penghambaan) yang tidak boleh diberikan kecuali hanya kepada Allah.
Hati yang berpenyakit adalah hati yang hidup tetapi memiliki penyakit. Hati ini memiliki dua unsur. Terkadang unsur satu yang menariknya, dan terkadang unsur yang lain, tergantung mana yang sedang berkuasa.
Hati yang mati adalah hati yang tidak memiliki kehidupan. Ia mati tidak mengenal Rabbnya, tidak menyembah-Nya dengan perintah-Nya, tidak mencintai dan menerima-Nya. Hati yang selalu bersama syahwat dan kelezatannya, sekalipun mengandung kemurkaan dan kebencian Allah subhanahu wa ta’ala.
Baca juga: Mengenal Allah
Apabila dia telah melampiaskan diri dengan syahwat dan segala keinginannya, dia tidak peduli apakah Allah subhanahu wa ta’ala ridha atau murka. Hati ini berada dalam ketundukan kepada selain Allah. Demikian pula cinta, rasa takut, harap, senang, benci, pengagungan, dan penghambaan dirinya. Jika mencintai sesuatu, dia mencintainya karena hawa nafsunya. Apabila marah, dia marah juga karena hawa nafsu. Jika memberi, dia pun memberi karena hawa nafsu. Demikian pula jika dia tidak memberi, itu karena hawa nafsu. Hawa nafsulah yang lebih mendominasinya. Dia lebih mencintai hawa nafsu daripada kecintaan kepada Allah. Hawa nafsu pun menjadi pemimpinnya, syahwat menjadi pemandunya, kebodohan menjadi pengemudinya, dan kelalaian menjadi kendaraannya.” (Lihat Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsatul Lahafan hlm. 33—37)
Hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala akan membedakan ketiga sifat hati tersebut dan akan menampakkan dengan jelas para pemiliknya.
Agung dan Mahalnya Hidayah
Dari penjelasan di atas, tampak betapa agungnya hidayah yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Apakah setelah hidayah yang agung dan besar ini, Anda akan mau menukarnya dengan dunia?
Apakah Anda akan mau menukarnya dengan kedudukan?
Maukah Anda menukarnya dengan wanita?
Apakah Anda mau menukarnya dengan harta kekayaan?
Orang yang beriman tentu mengetahui bahwa harga hidayah itu adalah surga dan melihat Allah subhanahu wa ta’ala. Dia tidak akan mau menukarnya dengan apa pun. Bahkan, jika darah atau nyawa harus dikorbankan untuk mempertahankannya, dia akan memberikannya. Prinsip hidupnya, keselamatan agama dan dirinya, tidak akan bisa ditukar dengan apa pun.
Baca juga: Jual Beli Agama di Tengah Derasnya Badai Fitnah dan Mahalnya Sebuah Hidayah
Lantas, bagaimana dengan mahalnya?
Kita mengetahui bahwa hidayah taufik hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala semata. Allah akan memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Jika demikian keadaannya, tidak ada seorang pun yang akan bisa membeli hidayah, dengan harga berapa pun. Tidak pula ada yang bisa memaksakan kehendak kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dia mendapatkannya walaupun dia adalah orang yang terkaya sejagat, keturunan bangsawan, keturunan raja, atau bahkan keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Beliau shallallahu alaihi wa sallam telah diperintah oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ
“Dan berikanlah peringatan kepada karib kerabatmu terdekat.” (asy-Syu’ara: 214)
Itulah kehendak yang dimiliki oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada ikatan, kaitan, atau campur tangan keinginan hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala pun memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Baca juga: Hidayah Umum bagi Setiap Makhluk
Kita mengenal golongan kaum budak dan kaum fakir miskin, seperti keluarga Ammar bin Yasir, Bilal bin Rabah, dan sebagainya. Kepada merekalah, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hidayah-Nya. Di sisi lain, Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberikannya kepada keluarga dekat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Menjemput Hidayah
Sekali lagi, hidayah taufik hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala semata. Dia menganugerahkannya kepada seseorang sebagai karunia dan rahmat-Nya. Allah tidak memberikannya kepada hamba-Nya yang lain sebagai bentuk keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Dia Maha Mengetahui, siapa yang berhak mendapatkannya dan siapa yang tidak.
فَإِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۖ
“Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)
Baca juga: Penghalang Hidayah
Termasuk hikmah-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala mengikat antara sebab dan akibat. Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberitahukan sebuah sebab kecuali Dia telah menjelaskan dan memberitahukan bahwa di antara sebab-sebab itu ada yang disyariatkan dan ada yang diharamkan-Nya. Termasuk juga sebab-sebab mendapatkan hidayah
Di antaranya adalah:
-
Beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan keimanan yang benar, sebagaimana keimanan pendahulu kita yang saleh.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَإِنۡ ءَامَنُواْ بِمِثۡلِ مَآ ءَامَنتُم بِهِۦ فَقَدِ ٱهۡتَدَواْۖ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” (al-Baqarah: 137)
-
Membaca Al-Qur’an, mendalaminya, dan mengamalkan kandungannya.
Sebab, salah satu hikmah diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia.
ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدًى لِّلۡمُتَّقِينَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (al-Baqarah: 2)
-
Berdoa dan meminta hidayah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Hal ini sebagaimana diperintahkan dalam surah al-Fatihah,
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)
-
Menaati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam semua aspek kehidupan.
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهۡتَدُواْۚ
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (an-Nur: 54)
-
Bersemangat mengkaji ilmu agama.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, niscaya Dia menjadikannya fakih dalam agama.” (HR. al-Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Wallahu a’lam.
(Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)