Sihir berkedok ‘pengobatan spiritual’, ‘transfer bioenergi’, ‘penggalian jati diri’, ‘ruwat’, ‘ilmu khadam’, ‘daya laduni’, dan sejenisnya, kian menjamur di negeri ini. Sebutan untuk sang pakar pun kian ‘ilmiah’, bukan lagi dukun/orang pintar, melainkan supranaturalis, ahli metafisika dan geopati, paranormal, penghusada, dan sebagainya. Bahkan, tak sedikit yang menyandang gelar doktor walau cuma honoris causa—itu pun diduga palsu. Meski tak semua bentuk pengobatan alternatif yang ada menggunakan klenik mistis, tetapi kehati-hatian tetap harus kita kedepankan.
Sihir dan lingkup ilmu-ilmu hitam sejenisnya makin populer saja belakangan ini. Para ‘pakar’ berikut iklan ‘pengobatan’-nya hampir tak pernah absen mengisi halaman media. Merekalah yang disebut dan diagung-agungkan sebagai ‘penguasa alam’. Seakan-akan hanya merekalah yang mengetahui dan menguasai rahasia kehidupan.
Eksistensi mereka kian diperkuat dengan dongeng-dongeng takhayul khas nenek moyang, utamanya yang berkaitan dengan kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau. Jadilah semua itu sebagai sebuah ajaran dan aliran tersendiri yang dibahasakan sebagai bagian dari agama.
Ironisnya, sebagian masyarakat muslim kian terbentuk akal dan pikirannya dengan semua itu. Lahirlah kemudian keyakinan yang berasal dari akal yang jumud (kaku) yang tergantung dan menggantungkan segala-galanya kepada orang-orang “sakti” itu.
Bahagia atau sengsara, senang atau susah, sehat atau sakit, berhasil atau gagal, maju atau mundur, seolah-olah ditentukan oleh mereka. Umat pun mulai lupa akan kekuasaan dan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala.
Definisi Sihir
Secara etimologis atau bahasa, sihir diartikan sebagai sesuatu yang halus dan tersembunyi sebabnya. (Mukhtar ash-Shihah, hlm. 208, dan al-Qamus, hlm. 519)
Oleh karena itu, waktu sahur di malam hari disebut dengan sahur karena aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada waktu itu tersembunyi.
Adapun secara terminologis (istilah), terjadi perbedaan pendapat di antara ulama dalam mengungkapkan dan mendefinisikan sihir.
Di antara mereka ada yang mendefinisikan sihir sebagai jimat-jimat, jampi-jampi, dan buhul-buhul yang berpengaruh pada hati dan badan, yang mengakibatkan sakit, mati, terpisahkannya antara suami dan istri atas izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Di antara mereka adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Sulaiman al-Qar’awi dalam kitab al-Jadid fi Syarah Kitabut Tauhid (hlm. 153), Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin di dalam kitab al-Qaulul Mufid (2/5), dan Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan dalam kitab at-Tauhid.
Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui, sihir tidak bisa didefinisikan dengan suatu pengertian yang menyeluruh dan lengkap karena memiliki banyak macam. Karena itulah, terjadi perbedaan ungkapan para ulama dalam mendefinisikannya.” (Adhwaul Bayan, 4/41)
Namun, dari kedua tinjauan ini, sangat jelas bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh dalam kehidupan manusia. Sihir merupakan bentuk perbuatan tersembunyi yang akan memberi pengaruh terhadap badan, pikiran, dan hati seseorang dengan bantuan “makhluk halus” baik melalui jampi-jampi maupun ikatan-ikatan buhul.
Hakikat Sihir
Menurut akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, sihir itu hakiki dan mempunyai pengaruh pada seseorang yang disihir. Keyakinan ini dibangun di atas dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱتَّبَعُواْ مَا تَتۡلُواْ ٱلشَّيَٰطِينُ عَلَىٰ مُلۡكِ سُلَيۡمَٰنَۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيۡمَٰنُ وَلَٰكِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحۡرَ
“Dan mereka mengikuti apa-apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu yang melakukan sihir). Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak melakukan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir), dan mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (al-Baqarah: 102)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالُوٓاْ إِنۡ هَٰذَٰنِ لَسَٰحِرَٰنِ يُرِيدَانِ أَن يُخۡرِجَاكُم مِّنۡ أَرۡضِكُم بِسِحۡرِهِمَا وَيَذۡهَبَا بِطَرِيقَتِكُمُ ٱلۡمُثۡلَىٰ ٦٣ فَأَجۡمِعُواْ كَيۡدَكُمۡ ثُمَّ ٱئۡتُواْ صَفّٗاۚ وَقَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡيَوۡمَ مَنِ ٱسۡتَعۡلَىٰ ٦٤ قَالُواْ يَٰمُوسَىٰٓ إِمَّآ أَن تُلۡقِيَ وَإِمَّآ أَن نَّكُونَ أَوَّلَ مَنۡ أَلۡقَىٰ ٦٥ قَالَ بَلۡ أَلۡقُواْۖ فَإِذَا حِبَالُهُمۡ وَعِصِيُّهُمۡ يُخَيَّلُ إِلَيۡهِ مِن سِحۡرِهِمۡ أَنَّهَا تَسۡعَىٰ ٦٦ فَأَوۡجَسَ فِي نَفۡسِهِۦ خِيفَةً مُّوسَىٰ ٦٧ قُلۡنَا لَا تَخَفۡ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡأَعۡلَىٰ ٦٨ وَأَلۡقِ مَا فِي يَمِينِكَ تَلۡقَفۡ مَا صَنَعُوٓاْۖ إِنَّمَا صَنَعُواْ كَيۡدُ سَٰحِرٍۖ وَلَا يُفۡلِحُ ٱلسَّاحِرُ حَيۡثُ أَتَىٰ ٦٩
“Mereka berkata, ‘Sesungguhnya dua orang ini (Musa dan Harun) adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya, serta hendak melenyapkan kedudukan kalian yang utama. Maka himpunkanlah segala daya (sihir) kalian kemudian datanglah dengan berbaris dan sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menang pada hari ini.’
Baca juga: Berimannya Tukang Sihir Fir’aun
Setelah mereka berkumpul, mereka berkata, ‘Hai Musa, (pilihlah) apakah kamu yang melempar dahulu atau kamilah yang mula-mula melemparkan?’
Musa berkata, ‘Silakan kalian melemparkan.’
Kemudian tiba-tiba tali dan tongkat mereka terbayang kepada Musa seakan-akan dia merayap dengan cepat lantaran sihir mereka. Musa pun merasa takut dalam hatinya.
Kami (Allah) berkata, ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya dia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka) dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana pun dia datang.” (Thaha: 63—69)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ أَلۡقُواْۖ فَلَمَّآ أَلۡقَوۡاْ سَحَرُوٓاْ أَعۡيُنَ ٱلنَّاسِ وَٱسۡتَرۡهَبُوهُمۡ وَجَآءُو بِسِحۡرٍ عَظِيمٍ
“Tatkala melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut serta mereka mendatangkan sihir yang besar.” (al- A’raf: 116)
Masih banyak ayat lain yang menjelaskan hakikat sihir tersebut.
Adapun dalil dari As-Sunnah adalah sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ
“Jauhilah tujuh perkara yang akan membinasakan.”
Para sahabat bertanya, “Apa itu?”
Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa tanpa alasan yang haq (benar), memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina wanita yang beriman yang menjaga diri dari maksiat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Baca juga: Sihir Melenyapkan Akidah
Masih banyak dalil lain yang menunjukkan bahwa sihir itu hakiki dan mempunyai pengaruh.
Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami rahimahullah mengatakan, “Sihir adalah sesuatu yang benar-benar ada. Pengaruhnya tidak terlepas dari takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنۡهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِۦ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَزَوۡجِهِۦۚ وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِۦ مِنۡ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ
‘Mereka belajar dari keduanya perkara yang akan merusak hubungan suami istri dan mereka tidak akan bisa berbuat mudarat kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah.’ (al-Baqarah: 102).
Pengaruhnya ada sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang sahih.” (A’lamus Sunnah al-Mansyurah, hlm. 153)
Musthafa Abu Nashr asy-Syabli dalam ta’liq-nya terhadap kitab di atas mengatakan, “Pengaruh sihir itu ada. Tidak ada yang mengingkari kecuali orang yang sombong atau mengingkari apa yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau sebagai sebaik-baik manusia dan sayyid anak Adam pernah terkena sihir seorang Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Labid bin al-A’sham. Beliau terus dalam sihir tersebut selama enam bulan.”
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (10/226) mengatakan, “Al-Maziri berkata bahwa sebagian ahli bid’ah mengingkari sihir yang menimpa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka menyangka bahwa hal ini akan menjatuhkan kedudukan nubuwah dan akan memberi keraguan. Mereka berkata, ‘Siapa saja yang berkata demikian, maka itu adalah pengakuan batil’.”
Baca juga: Menghilangkan Pengaruh Sihir
Syaikh Shalih bin Fauzan mengatakan, “Dinamakan sihir karena terjadi dengan perkara yang sangat tersembunyi yang tidak akan bisa dilihat oleh mata, yaitu berbentuk jimat-jimat, jampi-jampi, mantra-mantra, atau melalui asap-asap. Sihir memiliki hakikat. Di antaranya berpengaruh terhadap hati dan badan sehingga bisa menyebabkan sakit, terbunuh, dan memisahkan suami-istri.” (at-Tauhid, hlm. 21)
Abu Muhammad al-Maqdisi rahimahullah di dalam kitab al-Kafi (3/164) mengatakan, “Sihir adalah jimat-jimat, jampi-jampi, dan ikatan-ikatan buhul yang berpengaruh pada hati dan badan yang akhirnya menyebabkan sakit dan mati, serta akan memisahkan suami-istri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنۡهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِۦ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَزَوۡجِهِۦۚ
‘Lalu mereka belajar dari keduanya (Harut dan Marut) sesuatu yang akan bisa memisahkan antara seorang suami dengan istrinya.’ (al-Baqarah: 102)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
وَمِن شَرِّ ٱلنَّفَّٰثَٰتِ فِي ٱلۡعُقَدِ ٤
‘Dan kejahatan wanita-wanita yang meniupkan buhul-buhul.’ (al-Falaq: 4)
Maksudnya, para wanita tukang sihir yang mengikat buhul-buhul dalam sihirnya lalu menjampinya.
Jika sihir itu hakikatnya tidak ada, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyuruh untuk berlindung darinya.”
Hukum Mempelajari Sihir
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum mempelajari sihir ini.
Pendapat pertama
Imam Malik rahimahullah berkata bahwa belajar sihir atau mengajarkannya menyebabkan pelakunya kafir meskipun tidak menggunakannya. Sebab, sihir mengandung unsur pengagungan terhadap setan dan mengaitkan semua kejadian yang ada di alam ini dengan mereka. Tidak akan dikatakan oleh orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir bahwa mereka tidak kafir.
Pernyataan ini juga diucapkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dalam riwayat darinya yang lebih masyhur, dinukil dari sahabat Ali radhiallahu anhu, dan dianggap kuat oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni.
Pendapat kedua
Pendapat ulama mazhab Hanafi. Mereka memberikan perincian:
- Apabila mempelajari sihir untuk melindungi dirinya, dia tidak kafir.
- Apabila dia mempelajarinya dengan keyakinan bahwa hal tersebut dibolehkan atau akan memberi manfaat baginya, ini adalah kekafiran.
Yang juga berpendapat demikian adalah asy-Syafi’i dan mayoritas pengikut beliau. Pendapat ini dianggap kuat oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Qarafi, dan asy-Syinqithi. (al-Fath, 10/224, dan Adhwaul Bayan, 4/44)
Pendapat ketiga
Belajar sihir tidak kafir. Ini merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad rahimahullah yang tidak kuat. Pendapat ini dicela oleh Ibnu Hazm rahimahullah. (Fathul Bari, 10/224, Adhwaul Bayan, 4/44, Tafsir Ibnu Katsir, 1/128, Tafsir al-Qurthubi, 2/43, Fathul Qadir, 1/151, dan Tafsir as-Sa’di, hlm. 42)
Ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitab Tath-hir al-I’tiqad (hlm. 44) mengatakan, “Belajar ilmu sihir bukan perkara yang sulit. Pintunya yang paling besar adalah kufur kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menghinakan hal yang diagungkan oleh-Nya, seperti meletakkan mushaf di WC, dan sebagainya.”
Pendapat yang terkuat adalah sebagaimana yang akan dijelaskan pada pembahasan berikut.
Sihir dalam Pandangan Agama
Ibnu Allan rahimahullah dalam kitab Dalilul Falihin (8/284) mengatakan, “Sihir adalah hal-hal di luar kebiasaan yang terjadi melalui ucapan dan perbuatan, bisa dilawan dengan yang sepertinya. Sihir hukumnya haram, termasuk dosa besar.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدۡ عَلِمُواْ لَمَنِ ٱشۡتَرَىٰهُ مَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٍۚ
“Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukar (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah keuntungan baginya di akhirat.” (al-Baqarah: 102)
Syaikh Abdurrahman bin Hasan alu Syaikh rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menunjukkan haramnya sihir dan hukumnya haram dalam agama seluruh para rasul. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَا يُفۡلِحُ ٱلسَّاحِرُ حَيۡثُ أَتَىٰ
‘Dan tidak akan beruntung tukang sihir dari mana saja dia datang.’ (Thaha: 69)
Pengikut Imam Ahmad rahimahullah telah menjelaskan tentang kafirnya belajar sihir dan mengajarkannya.” (Fathul Majid, hlm. 336)
Syaikh Shalih Fauzan dalam ta’liq beliau terhadap kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah mengatakan, “Sihir adalah satu bentuk perbuatan setan dan termasuk dari kekufuran kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Janganlah kalian tertipu oleh mereka.”
Ibnu Abil ‘Izzi dalam Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah (hlm. 505) mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa jika sihir itu dalam bentuk meminta kepada bintang yang tujuh atau selainnya, mengajak berbicara atau sujud kepadanya, dan mendekatkan diri kepadanya baik dalam bentuk pakaian, cincin, asap-asap, sesajen, atau yang sejenisnya; ini termasuk jenis kekufuran dan pintu kesyirikan yang paling besar. Oleh karena itu, wajib ditutup.”
Baca juga: Perbedaan Mukjizat, Karamah, dan Sihir
As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir beliau (hlm. 44) mengatakan, “Jangan kamu belajar sihir karena hal itu termasuk kekufuran.”
Semua ucapan para ulama tersebut terambil dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنۡ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَآ إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٌ فَلَا تَكۡفُرۡۖ
“Tidaklah keduanya mengajarkan sesuatu kepada seorang pun melainkan keduanya mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, maka janganlah kamu kafir’.” (al-Baqarah: 102)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah mengatakan, “Dari sini sangat jelas bahwa seseorang tidak mungkin mempelajari sihir melainkan dia harus kafir. Apabila dia telah kafir, barulah dia bisa mempelajarinya. Berdasarkan ayat ini, tukang sihir hukumnya adalah kafir.”
Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab beliau, al-Kabair (hlm. 21—22), mengatakan, “Tukang sihir harus dikafirkan berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَٰكِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحۡرَ
‘Akan tetapi, setan-setan yang kafir dan mengajarkan manusia sihir.’
Ketika mengajari manusia ilmu sihir, setan tidak memiliki tujuan selain agar Allah subhanahu wa ta’ala disekutukan. Engkau melihat kebanyakan orang menjadi sesat karena mempelajari ilmu sihir tersebut. Mereka menyangka bahwa (hukumnya) sebatas haram. Mereka tidak mengira bahwa itu adalah wujud kekafiran.
Hukuman bagi tukang sihir adalah dibunuh karena dia kufur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hendaklah setiap hamba bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jangan sekali-kali dia masuk kepada perkara-perkara yang akan mencelakakan dirinya di dunia dan akhirat.” (al-Qaulul Mufid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani, hlm. 137)
Baca juga: Membentengi Diri dari Sihir
Adapun dalil dari Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ.
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang akan membinasakan….”
Di antaranya adalah sihir.
Al-Lajnah ad-Daimah menyatakan, diharamkan mempelajari sihir, baik untuk diamalkan maupun untuk mempertahankan diri. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an tentang mempelajarinya adalah kekufuran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحۡرَ وَمَآ أُنزِلَ عَلَى ٱلۡمَلَكَيۡنِ بِبَابِلَ هَٰرُوتَ وَمَٰرُوتَۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنۡ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَآ إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٌ فَلَا تَكۡفُرۡۖ
“Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. Keduanya tidak mengajarkan kepada seorang pun melainkan mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan bagi kamu, maka janganlah kafir’.” (al-Baqarah: 102)
Sungguh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa sihir merupakan salah satu dosa besar. Beliau juga memerintahkan agar kita menjauhinya dengan sabdanya, “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang akan membinasakan….” Kemudian beliau menyebutkan di antaranya, “Sihir.”
Di dalam Sunan an-Nasai disebutkan, “Barang siapa mengikat buhul lalu meniupkan padanya, maka sungguh dia telah melakukan sihir. Barang siapa telah melakukan sihir, maka sungguh dia telah melakukan kesyirikan.” (Fatawa al-Lajnah, 1/367/368)
Hukuman[1] bagi Tukang Sihir
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah tukang sihir itu dihukumi kafir atau tidak. Berikutnya, tentang hukuman bagi mereka di dunia ini, apakah dibunuh atau tidak.
- Jumhur ulama berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir secara mutlak. Di antara mereka adalah Malik, Abu Hanifah, pengikut Imam Ahmad, dan selain mereka. (Adhwaul Bayan, 4/455)
- Ada yang mengatakan perlu dirinci:
- Apabila di dalam sihir tersebut terkandung pengagungan terhadap selain Allah subhanahu wa ta’ala,seperti bintang-bintang, roh-roh, dan selainnya yang akan bisa mengantarkan kepada kekafiran, pelaku sihir tersebut kafir tanpa ada perselisihan.
- Apabila sihir itu tidak mengandung kekufuran, seperti menggunakan benda-benda tertentu sejenis minyak dan selainnya, ini adalah haram dengan keharaman yang keras meski pelakunya tidak bisa dikatakan kafir. (Adhwaul Bayan, 4/456)
Pendapat kedua ini yang dikuatkan oleh asy-Syinqithi dalam kitab Adhwaul Bayan (4/456) dengan menyatakan, “Inilah yang benar, insya Allah, dari perbedaan pendapat para ulama tersebut.”
Ini pula yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitab al-Qaulul Mufid (2/6).
- Di antara ulama ada yang menggabungkan kedua pendapat tersebut.
Di antaranya, Syaikh Sulaiman dalam kitab Taisir al-‘Azizil Hamid (hlm. 384), “Sebenarnya kedua pernyataan tersebut tidaklah berbeda. Yang menyatakan tidak kafir, dia menyangka bahwa sihir itu terjadi tanpa ada unsur kesyirikan. Kenyataannya tidak demikian. Sihir yang datang dari sisi setan tidak lepas dari kesyirikan dan penyembahan kepada setan. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengafirkan mereka dengan firman-Nya,
إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٌ فَلَا تَكۡفُرۡۖ
“Sesungguhnya kami adalah cobaan, maka janganlah kamu kafir.” (al-Baqarah: 102)
Baca juga: Syirik
Adapun sihir yang berasal dari obat-obatan atau asap-asap, ini bukan sihir. Hal ini dinamakan sihir secara majazi (kiasan), sebagaimana ucapan yang memukau dan namimah (mengadu domba) juga dinamakan sihir. Namun, hal ini tetap haram karena mengandung mudarat. Pelakunya harus diberi pelajaran.” (Syarah Nawaqidhul Islam, hlm. 26)
Setelah kita mengetahui hukum dalam pandangan agama terhadap tukang sihir; apakah pelakunya bisa disebut kafir atau hanya sebagai pelaku maksiat;
Lantas bagaimana hukuman bagi tukang sihir di dunia, haruskah dibunuh?
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan bahwa Ibnu Hubairah rahimahullah berkata, “Orang yang hanya melakukan perbuatan sihir, apakah dibunuh atau tidak?”
Malik dan Ahmad menyatakan, “Ya (dibunuh).”
Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah mengatakan tidak.
Apabila dia membunuh seseorang dengan sihirnya, dia harus dibunuh menurut pendapat Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad.
Ada riwayat dari ulama salaf yang membunuh pelaku sihir. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih beliau dari Bajalah bin Abdah, Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu memerintahkan, “… bunuhlah para tukang sihir, lelaki dan wanita.” Kami pun membunuh tiga tukang sihir.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Kitab at-Tauhid berkata, “Telah sahih dari Hafshah bahwa beliau memerintahkan untuk membunuh budak yang menyihirnya. Telah sahih pula ucapan dari Jundub radhiallahu anhu.”
Baca juga: Sejarah Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Fathul Majid (hlm. 343) berkata,
“Diriwayatkan pula pendapat yang mengatakan (tukang sihir harus dibunuh) dari Umar, Utsman, Ibnu Umar, Hafshah, Jundub bin Abdullah, Jundub bin Ka’ab, Qais bin Sa’d, dan Umar bin Abdul Aziz.
Adapun asy-Syafi’i rahimahullah tidak berpendapat dibunuh karena sekadar menyihir, kecuali apabila sihirnya telah sampai pada tingkat kufur. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad.
Pendapat pertama lebih kuat berdasar hadits dari Anas dan atsar Umar. Orang-orang melakukannya pada masa pemerintahan beliau dan tidak diingkari.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (29/384) berkata,
“Sungguh, telah diketahui bahwa sihir adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak umat. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir. Telah sahih dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu tentang keharusan membunuhnya. Demikian pula dari Utsman bin Affan, Hafshah bintu Umar, Abdullah bin Umar, dan dari Jundub bin Abdillah radhiallahu anhum, serta telah diriwayatkan secara marfu’ (sampai sanadnya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).”
Dari semua pendapat para ulama ini, jelas bahwa sihir merupakan sesuatu yang sangat berbahaya, baik ditinjau dari sisi dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, telah sahih riwayat dari ulama salaf tentang keharusan membunuh mereka. Apakah hukuman mati ini terhadap mereka sebagai hukuman takzir[2] atau karena murtad?
Baca juga: Pembatal-Pembatal Keimanan
Para ulama sepakat, jika sihirnya sampai pada tingkatan kekufuran dan syirik, dia dibunuh sebagai hukuman murtad. Terjadi perbedaan pendapat apabila sihirnya itu tidak sampai pada tingkatan kufur. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa dibunuh sebagai hukuman (had). Ada pula yang mengatakan dia dibunuh sebagai satu bentuk takzir baginya dan bagi orang lain.
Syaikh Muhammad bin Amin asy-Syinqithi dalam kitab Adhwaul Bayan (4/462) berkata,
“Yang benar menurut saya, penyihir yang sihirnya belum sampai ke tingkat kufur dan tidak membunuh dengan sihirnya itu, dia tidak boleh dibunuh berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (kuat) dan ijmak tentang terpeliharanya darah orang-orang Islam secara umum, kecuali apabila datang dalil yang jelas. Membunuh tukang sihir yang belum sampai pada tingkatan kufur dengan sihirnya, tidak ada dalil yang sahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Menumpahkan darah seorang muslim tanpa ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahih, belum jelas pembolehannya menurut saya.”
Ilmunya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Sementara itu, yang mengatakan harus dibunuh secara mutlak merupakan pendapat yang sangat kuat berdasarkan perbuatan para sahabat tanpa ada pengingkaran.
Baca juga: Berkah Allah dalam Hukum Had
Apakah mereka harus dimintai tobat ataukah langsung dibunuh?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang kuat berdasarkan tarjih asy-Syinqithi dalam Adhwaul Bayan, “Kalau dia bertobat, tobatnya diterima. Sebab, sihir tidak lebih besar daripada dosa syirik. Allah subhanahu wa ta’ala juga menerima tobat tukang sihir Fir’aun dan menjadikan mereka ketika itu sebagai wali-Nya.” (Syarah Nawaqidhul Islam, hlm. 28)
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki
[1] Hukuman ini dilakukan oleh penguasa, bukan oleh individu atau kelompok. (-ed)
[2] Hukuman yang tidak ditetapkan ketentuannya secara syariat, baik terkait hak Allah atau hak manusia, umumnya berlaku pada setiap maksiat yang tidak ada hukum had atau kafarah padanya. (-ed)
3 Comments
Comments are closed.