Keyakinan terhadap Imam Mahdi adalah salah satu tonggak penting dari pilar-pilar keimanan yang mesti kita imani. Sebab, kemunculannya di penghujung zaman menjadi salah satu penanda besar akan datangnya hari kiamat. Tinggal bagaimana kita menerjemahkan keyakinan itu dalam bingkai akidah yang lurus.
Bagi seorang muslim, tentu bukan satu yang asing bila disebutkan kepadanya tentang rukun-rukun iman. Sudah menjadi tradisi dalam lingkup pendidikan Islam, rukun-rukun iman diajarkan, bahkan dihafal semenjak usia bocah. Rukun-rukun iman merupakan perwujudan dari dasar-dasar akidah Islam. Salah satu unsur dalam rukun-rukun iman tersebut yaitu keimanan terhadap Hari Akhir.
Beriman kepada Hari Akhir merupakan salah satu dari tanda-tanda keimanan kepada perkara gaib. Satu perkara yang sulit dijangkau oleh akal, ilmu pengetahuan, dan hanya bisa melalui pendekatan keimanan yang sempurna melalui pemahaman nash dari jalan wahyu.
Masalah Hari Akhir ini merupakan perkara yang teramat penting. Ayat-ayat dalam Al-Qur’an pun banyak mengangkat tema ini saat membicarakan masalah yang bersifat keimanan. Sebagai misal,
لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Akhir ….” (al-Baqarah: 177)
ذَٰلِكُمۡ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ
“Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir ….” (ath-Thalaq: 2)
Baca juga: Dampak Keimanan dalam Kehidupan Seorang Muslim
Dalam pandangan Islam, hidup tak sekadar berkutat dalam alam mayapada ini, yang fana, singkat, dan terbatas sekali. Sesungguhnya, hidup dalam pandangan Islam merupakan satu masa yang panjang, yang berada dalam zaman keabadian, yang menempati ruang (dan waktu) di alam lain, yaitu surga yang luasnya seluas langit dan bumi, atau neraka yang dahsyat siksanya.
Sesungguhnya, beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Hari Akhir serta apa yang ada di dalamnya, yaitu menyangkut pahala dan siksa, mampu mengarahkan tingkah laku manusia untuk berbuat kebajikan. Tak ada satu pun sistem perundangan yang dibuat oleh manusia yang mampu mengarahkan perilaku manusia ke arah semacam itu, kecuali dengan menanamkan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Hari Akhir.
Inilah yang membedakan bentuk perilaku pada manusia. Seorang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Hari Akhir, mengetahui bahwa dunia ini hanya sekadar ladang akhirat, sedangkan amal-amal yang saleh merupakan sebaik-baik bekal untuk akhirat. Tentu akan berbeda dengan seorang yang tanpa keimanan tersebut.
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (al-Baqarah: 197)
Baca juga: Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia
Sebagaimana telah diperbuat oleh seorang sahabat mulia, Umair ibnul Humam al-Anshari radhiallahu anhu yang memperoleh kesyahidan dalam Perang Badr. Kurma yang ada padanya dibuang tatkala Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Bangkitlah, menuju surga seluas langit dan bumi.”
“Wahai Rasulullah, surga seluas langit dan bumi?” Umair balik bertanya.
Jawab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Ya.”
Kata Umair, “Bagus, bagus.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apa yang membuatmu mengucapkan ‘bagus, bagus’?”
“Tidak. Demi Allah, wahai Rasulullah, tidak lain karena saya menaruh harapan menjadi penghuni surga itu,” jawab Umair.
Kata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya, engkau termasuk penghuninya.”
Dia lantas mengeluarkan beberapa butir kurma dari kantung anak panahnya. Dia pun memakan sebagian kurma itu lantas berucap, “Jika saya hidup hingga memakan kurma-kurma itu, sungguh yang demikian ini sekadar (menunda) untuk hidup lebih lama lagi.”
Diapun bergegas seraya melempar butir-butir kurma tersebut, dan bertandang ke gelanggang medan pertempuran Badr. Dia terbunuh dalam pertempuran tersebut. (Shahih Muslim, dengan syarah Imam an-Nawawi rahimahullah, “Kitab al-Jihad”, “Bab Tsubut al-Jannah lisy Syahid”, no. 4892)
Baca juga: Perang Badr Kubra (bagian 1)
Maka dari itu, tampak beda, perilaku seorang yang tidak didasari keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Hari Akhir dengan seorang yang hatinya diliputi keimanan. Beda. Seorang yang mengimani adanya pahala dan siksa, yang menatap jauh ke depan akan adanya timbangan langit, bukan timbangan bumi, adanya hisab akhirat bukan lantaran perhitungan dunia. Karena itu, dia akan memiliki sikap hidup tersendiri. Akan terpancar padanya sikap istiqamah, luas pandangan, dan memiliki kekokohan ilmu. Teguh saat menghadapi beratnya hidup, sabar tatkala musibah mendera. Yang diharapkan hanyalah ganjaran dan pahala. Dia akan benar-benar mengetahui dan yakin bahwa apa yang di sisi Allah subhanahu wa ta’ala adalah lebih baik dan kekal. (Asyrath as-Sa’ah, Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, hlm. 27—28)
Inilah buah keimanan terhadap Hari Akhir. Seorang mukmin akan mengarahkan setiap langkahnya dalam kehidupan di dunia ini guna kehidupan di akhiratnya kelak. Dirinya mengharap dan senantiasa berupaya agar di Hari Akhir nanti tak muncul penyesalan, sebagaimana digambarkan ayat berikut,
أَن تَقُولَ نَفۡسٌ يَٰحَسۡرَتَىٰ عَلَىٰ مَا فَرَّطتُ فِي جَنۢبِ ٱللَّهِ وَإِن كُنتُ لَمِنَ ٱلسَّٰخِرِينَ ٥٦ أَوۡ تَقُولَ لَوۡأَنَّ ٱللَّهَ هَدَىٰنِي لَكُنتُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ ٥٧ أَوۡ تَقُولَ حِينَ تَرَى ٱلۡعَذَابَ لَوۡ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٥٨
Agar jangan ada orang yang mengatakan, “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedangkan aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olok (agama Allah).” Atau, supaya jangan ada yang berkata, “Kalau Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.” Atau, supaya jangan ada yang berucap saat melihat azab, “Sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (az-Zumar: 56—58)
Baca juga: Hukum Mengolok-Olok Sunnah Nabi
Penyesalan tinggallah penyesalan. Kala Hari Akhir itu tiba, tiada guna lagi penyesalan. Semua petaka itu terjadi karena diri larut dalam hawa nafsu, menjauh dari nilai-nilai syariat. Setiap keterangan yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, dia tentang. Dia berupaya menampik apa yang telah dikabarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya dengan alasan ‘tidak rasional’ atau ‘tidak masuk akal’. Seakan-akan nilai Islam hanya sebatas kapasitas akalnya. Sesuatu yang di luar akalnya, dia tolak dan dia tentang meski itu berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Keimanan tiada lagi tertancap di hatinya. Dia sombong dan mendustakan keterangan-keterangan Allah dan Rasul-Nya.
بَلَىٰ قَدۡ جَآءَتۡكَ ءَايَٰتِي فَكَذَّبۡتَ بِهَا وَٱسۡتَكۡبَرۡتَ وَكُنتَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ
“(Bukan demikian) sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir.” (az-Zumar: 59)
Seorang muslim harus mengedepankan keimanannya. Termasuk dalam mengimani tanda-tanda yang bakal muncul menjelang terjadinya Hari Kiamat. Satu di antara tanda-tanda itu adalah munculnya al-Mahdi.
Baca juga: Tanda-Tanda Kedatangan Hari Kiamat
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa al-Mahdi akan muncul pada akhir zaman, sebelum Nabi Isa alaihis salam turun. Dia seorang laki-laki keturunan ahlul bait. Melalui dia, Allah subhanahu wa ta’ala mengokohkan agama. Dia akan berkuasa selama tujuh tahun. Pada masanya, bumi ditaburi dengan keadilan sebagaimana kezaliman sempat meliputi bumi sebelumnya. Umat merasakan nikmat di bawah kekuasaannya dan belum pernah ada kenikmatan yang dirasakan seperti itu. Bumi mengeluarkan tetumbuhan, langit mengguyuri dengan hujan. Kala itu, harta diberikan tanpa batas. (Asyrath as-Sa’ah, Yusuf bin Abdillah Al-Wabil, hlm. 249; at-Tadzkirah fi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah, al-Qurthubi, hlm. 517)
Al-Mahdi yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah seorang laki-laki yang bernama seperti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Nama ayahnya seperti nama ayah Nabi. Jadi, dia bernama Muhammad atau Ahmad, bin Abdillah. Dia dari keturunan Fathimah bintu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian berasal dari al-Hasan bin Ali radhiallahu anhuma. Menurut Ibnu Katsir rahimahullah dalam an-Nihayah fil Fitan wal Malahim (hlm. 45), nama Al-Mahdi adalah Muhammad bin Abdillah al-Alawi al-Fathimi al-Hasani.
Berbeda halnya dengan Syiah. Al-Mahdi di kalangan mereka adalah penghuni bangunan di bawah tanah, yaitu imam kedua belas dari silsilah al-imamiyah al-itsna ‘asyariyah. Dia bernama Muhammad bin al-Hasan al-Askari, seorang imam al-muntazhar (yang ditunggu) kemunculannya dari tempat persembunyiannya di Samarra. (lihat Kitabul Imamah war Radd ‘alar Rafidhah, karya al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbahani rahimahullah, hlm. 116)
Baca juga: Akidah Syiah Meruntuhkan Tauhid
Maka dari itu, sosok al-Mahdi yang disebutkan oleh kalangan Syiah Rafidhah adalah sosok yang batil. Ini bertentangan dengan hadits-hadits sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu,
لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ حَتَّى يُبْعَثَ فِيْهِ رَجُلٌ مِنِّي أَوْ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أَبِيْهِ اسْمَ أَبِي، يَمْلَأُ الْأَرْضُ قِسْطًا وَعَدْلًا كَمَا مُلِئَتْ جُورًا وَظُلْمًا
“Andai tak tersisa lagi di dunia kecuali satu hari yang Allah panjangkan hari itu sehingga akan muncul seorang laki-laki dari keturunanku atau dari ahli baitku, yang namanya sama dengan namaku, nama ayahnya sama dengan nama ayahku, (saat itu) bumi dipenuhi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi dengan kejahatan dan kezaliman.” (HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)
Lafaz,
يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أَبِيْهِ اسْمَ أَبِي
“Namanya sama dengan namaku, nama ayahnya sama dengan nama ayahku,” (menunjukkan) bahwa al-Mahdi yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam bernama Muhammad bin Abdillah, bukan Muhammad bin al-Hasan. (Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah fi Naqdi Kalami asy-Syi’ah al-Qadariyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah hlm. 95)
Baca juga: Imam Mahdi Adalah Keturunan Nabi
Orang-orang Syiah berkeyakinan bahwa al-Mahdi tengah bersembunyi. Al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbahani rahimahullah mengutip pernyataan al-Kulaini (seorang ulama terkemuka Syiah) dalam kitabnya, al-Kafi, bahwa al-Mahdi yang diyakini oleh kaum Syiah terhalangi kemunculannya karena takut dibunuh. Lantas, dia akan muncul dari dalam bangunan bawah tanah Samarra. (Kitabul Imamah war Radd ‘ala ar-Rafidhah, hlm. 116)
Perkataan kaum Syiah yang meyakini bahwa al-Mahdi menetap dalam bangunan bawah tanah Samarra merupakan waham dan sekadar mitos. Ibnu Katsir rahimahullah mengungkapkan dalam an-Nihayah fil Fitan wal Malahim (hlm. 44), keyakinan orang-orang Rafidhah dungu yang menyatakan bahwa al-Mahdi sekarang berada di bangunan bawah tanah Samarra dan mereka akan menunggu munculnya pada akhir zaman nanti; merupakan satu bentuk igauan yang hina dari setan. Sebab, tidak ada dalil ataupun keterangan sama sekali, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Tidak pula dari akal yang sahih dan istihsan.
Menukil pernyataan Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad dalam risalah beliau, ar-Raddu ‘ala Man Kadzaba bil Ahadits ash-Shahihah al-Waridah fil Mahdi wa ‘Aqidatu Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdi, disebutkan bahwa jumlah sahabat yang telah meriwayatkan hadits-hadits tentang al-Mahdi sebanyak 26 orang sahabat. Beliau pun menyebutkan nama-nama sahabat tersebut. Lantas, diikuti dengan nama-nama para imam yang meriwayatkan hadits-hadits dan atsar (ucapan ulama salaf) tentang al-Mahdi yang terdapat dalam kitab-kitab mereka sejumlah 36 orang imam. Beliau menyertakan juga nama-nama yang menulis kitab tentang masalah al-Mahdi. Sesungguhnya, tidak ada kaitan antara akidah Ahlus Sunnah dan Rafidhah dalam masalah al-Mahdi.
Baca juga: Negeri Islam Target Operasi Syiah
Beliau juga menyebutkan bahwa hadits-hadits tentang al-Mahdi berjumlah banyak yang telah dicantumkan oleh para penulis hadits. Hadits-hadits tersebut diungkapkan dalam bentuk mutawatir di kalangan jamaah. Keyakinan yang wajib, di kalangan Ahlus Sunnah dan selainnya seperti Asy’ariah, menunjukkan kenyataan yang kuat dan tidak diragukan lagi. Berita tentang al-Mahdi itu benar-benar akan terjadi di akhir zaman. Selain itu, tidak ada kaitan sama sekali secara hakikat yang kuat (al-Mahdi) di kalangan Ahlus Sunnah dengan akidah Syiah. Sebab, menurut keyakinan Syiah, (al-Mahdi) yang akan keluar adalah Mahdi al-Muntazhar (yang ditunggu kemunculannya) bernama Muhammad bin al-Hasan al-Askari dari garis keturunan al-Husain radhiallahu anhu.
Maka dari itu, apa yang diyakini oleh kaum Syiah ini secara hakiki tidak ada. Keyakinan mereka yang dinisbahkan terhadap al-Mahdi menurut versi mereka, tidak ada asal-usulnya. Secara hakikat, al-Mahdi yang menjadi keyakinan kaum Syiah dibangun atas dasar akidah waham. Tidak nyata, tidak ada wujudnya. Kecuali masalah keimamahan Ali bin Abi Thalib dan putranya, al-Hasan radhiallahu anhuma. Keduanya, Ali bin Abi Thalib dan Al-Hasan, berlepas diri dari kaum Syiah dan segala bentuk keyakinan mereka tanpa diragukan lagi. (Lihat Kitabul Imamah war Radd ‘ala ar-Rafidhah, al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbahani, tahqiq dan ta’liq Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi, hlm. 120)
Baca juga: Kontroversi Sikap Terhadap Ahlul Bait
Pernyataan Syaikh Abdul Muhsin di atas cukup memberi penjelasan, terutama terhadap kalangan yang menolak akan munculnya al-Mahdi pada akhir zaman. Di antara yang menyatakan penolakan ini ialah Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar. Dia mengatakan bahwa hadits-hadits tentang al-Mahdi saling bertentangan. Misal, nama al-Mahdi adalah Muhammad bin Abdullah, sedangkan riwayat lain—seperti dinyatakan Syiah Imamiyah—adalah Muhammad bin al-Hasan al-Askari.
Anggapan bahwa hadits-hadits al-Mahdi itu kontradiktif, muncul lantaran adanya riwayat-riwayat yang tidak sahih. Adapun pada hadits-hadits yang sahih, tidak ada pertentangan sama sekali. (Asyrath as-Sa’ah, Yusuf bin Abdillah al-Wabil, hlm. 267 dan 270)
Karena itu, meyakini akan munculnya al-Mahdi sebagaimana disebutkan oleh riwayat-riwayat yang sahih adalah sebuah keniscayaan. Ini merupakan bagian dari keyakinan (i’tiqad) Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Wallahu a’lam.
